Jumat, 25 November 2016

PULAU MARAMPIT, TEMPATKU MENEMUKAN CINTA
PAK DOKTER, AKU JUGA SAYANG KAMU

                “Aku ka Ulin, Aku mau jadi dokter, aku tolong sebentar orang Marampit yang sakit.” Suara lantang itu masih jelas terdengar dalam gendang telingaku, dalam suasana kelas kesehatan, seorang bocah bernama Veron memberanikan diri mengacungkan tangan dan menjawab dengan tegas. Untunglah, dengan bahasa Indonesia yang tidak beraturan, aku masih mampu menangkap perkataan yang dia ucapkan. Sebelum jauh ku ceritakan, bagiku Veron adalah mutiara yang berhasil aku temukan diantara banyaknya gundukan pasir pantai Pulau Marampit. Nama lengkapnya Veron Putra Batunan, dia adalah salah satu siswa kelas lima di Sekolah Dasar Kristen SION Marampit. Aku tidak paham bagaimana kesehariannya di sekolah sebelum kami datang, yang pasti disetiap mengajar aku melihatnya sangat antusias didalam kelas. Menjadi satu-satunya siswa laki-laki yang bermimpi menjadi dokter juga membuatku sedikit melirik lebih dari biasanya.

Aku merasa sangat bersyukur, Allah memberiku kesempatan untuk menapakkan kaki di salah satu pulau terluar negeri ini dan melihat sisi lain dari Indonesia. Singkatnya, Pulau Marampit adalah satu dari tiga pulau terluar di utara Indonesia yang berbatasan dengan Negara Filipina. Dengan penduduknya yang 100% Non Muslim, aku juga belajar banyak tentang toleransi beragama. Dibalik kisah itu, aku menyimpan beberapa kisah menarik yang berhubungan dengan duniaku, kesehatan tentunya. Sebelum aku memantapkan niat untuk KKN di tempat ini, aku mencari informasi tentang kondisi kesehatan di Pulau Marampit. Ketua timku mengatakan di tempat ini tidak ada dokter, hanya ada perawat dan bidan saja. Setelah mendengar perkataannya, aku justru merasa tertantang dan tak sabar ingin segera melihatnya secara nyata.
‘Bagai mencari jarum ditumpukkan jerami’, mungkin itu adalah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kondisinya. Aku berada di salah satu dari puluhan pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara, yang sudah hampir pasti penyebaran tenaga kesehatannya tidak merata. Yah, secara logika siapa yang mau ditempatkan di pelosok negeri dengan keterbatasan disana-sini, kecuali orang tersebut memang lahir ditempat itu. Sebelum sampai di Marampit, aku dan teman satu tim medis menemui kepala bidang Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten Kepualauan Talaud, Bu Vivi namanya. Beliau mengatakan tidak adanya pemerataan tenaga kesehatan di pulau-pulau ini karena keterbatasan dari segi jumlah peminat, terutama dokter. Beberapa tahun terakhir saat sedang digencarkan program Pegawai Tidak Tetap (PTT), pendaftar dokter juga jauh dibawah jumlah kuota yang disediakan, sehingga dinas kesehatan sangat kesulitan untuk membagi. Mau tidak mau, para dokter, terutama dokter spesialis akan ditempatkan di beberapa titik strategis yang memang sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk bidan, pihak Dinas Kesehatan dapat memastikan disetiap pulau sudah ada bidan meskipun jumlahnya minim.
Oke, aku akan memulai pengabdian ini, pikirku. Tergambar dengan samar seperti apa tempat yang akan kutinggali untuk puluhan hari kedepan. Dan akhirnya disuatu pagi yang cerah, tibalah raga ini di Negeri Porodisa Pulau Surga disambut dengan besarnya ombak pantai, kebetulan saat itu sedang pasang. Aku menikmati serangkaian penyambutan adat yang sakral lengkap dengan pestanya. Dari acara ini mulai ku temui setitik demi titik makanan-makanan khas bersantan dan berkalori serta minuman dengan rasa manis level tinggi. Pernah suatu kali temanku bergurau bahwa yang mereka minum bukanlah teh manis, tetapi air gula rasa teh. (Hehe..) Aku mulai curiga dengan tingginya kadar gula darah, kolesterol dan asam urat pada warga ditempat ini, aku merasa beruntung karena kami sudah mempersiapkan alat pengecekan tersebut dari Jogja. Sebagai satu-satunya mahasiswa medis yang bertanggungjawab pada 3 desa, setiap hari aku bersemangat mengecek kadar gula darah dan asam urat warga Desa Marampit, Marampit Timur dan Laluhe. Dugaanku benar, aku berhasil menemukan begitu banyak orang yang kadar gulanya melebihi normal. Selain karena makanan, menurutku hal ini mungkin juga disebabkan karena kebiasaan mereka mengkonsumsi minuman “tjap tikus” yang kadar gulanya memang sangat tinggi.
Suatu hari, kutelusuri bangunan puskesmas yang sederhana. Kebetulan rumah tinggalku berhadapan langsung dengan puskesmas Pulau Marampit sehingga dengan leluasa aku bisa keluar masuk. Kutemui seorang ibu muda berkulit putih sedang duduk di ruang meja periksa, Kak Ita namanya. Ruangan tempat periksa tidak lebar, tapi juga tidak terlalu sempit. Peralatan yang kutemui tidak kurang, bahkan berlebih pada beberapa jenis alat. Sayangnya, peralatan bantuan dari pemerintah ini tidak digunakan dengan optimal. Di Puskesmas yang hanya membuka tiga jam pelayanan, dari pukul 09.00-12.00 WITA ini hanya ada seorang bidan sebagai kepala puskesmas dan 2 orang perawat lulusan SPK atau setara SMA, serta tambahan tenaga satu orang bidan PTT dan dua orang dari program GSC yang sebentar lagi akan meninggalkan Pulau Marampit, dan bisa dipastikan disini tidak ada dokter yang berjaga. Mereka membagi tugas dan bertanggungjawab terhadap satu pulau. Meski begitu, puskesmas sering sepi, masih banyak warga yang enggan berobat sebelum sakit mereka benar-benar parah, kepercayaan terhadap pengobatan tradisional masih sangat tinggi. Alasannya sederhana, ‘toh akan sembuh dengan sendirinya nanti’.
Menarik, aku mulai menikmati alur hidup mereka, andai diberi waktu lebih banyak untuk berada ditempat ini, aku tidak akan pernah menolaknya, karena selain dapat mengabdi, aku juga bisa berlibur setiap hari dengan birunya pantai yang masih sangat bersih dan pemandangan bentangan samudera serta pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Marampit. Aku bersyukur, betapa Allah telah menciptakan semuanya dengan sempurna. Disini aku juga merasakan hidup yang benar-benar hidup, ketenangan tanpa persaingan dengan jelas aku rasakan. Hampir seluruh warga di pulau ini tidak pernah menyembunyikan bibirnya untuk tersenyum, membuka mulutnya untuk menyapa, serta meringankan tangannya untuk menolong. Meskipun suara mereka lantang dan seolah-olah mengajak bertengkar, tetapi sungguh hati mereka sangat lembut. Aku harus mengakui bahwa mereka adalah orang-orang kaya yang tidak memperlihatkan kekayaannya, hidupnya sederhana dan gotong royongnya sangat tinggi. Mengapa kaya? Yah, mereka tidak akan pernah kelaparan, selangkah saja menyusuri bibir pantai dan duduk diam dengan pancing di tangan, sudah pasti mereka akan mendapatkan sumber makanan untuk beberapa hari. Tak heran jika anak-anak Pulau Marampit tumbuh sebagai anak yang cerdas, setiap hari mereka mendapat asupan protein hewani dari berbagai jenis ikan dan kepiting serta hewan laut lainnya. Sayangnya, kecerdasan yang mereka miliki tidak banyak diasah, bahkan membiarkan saja kecerdasan itu pupus seiring berjalannya waktu.
Berbagai kendala semakin lama semakin nampak, jumlah guru yang terbatas, kurangnya persaingan antar siswa sehingga mereka santai-santai saja dalam bersekolah, serta kekerasan fisik di sekolah yang masih ada. Namun dibalik itu, ada kendala lain yang jauh lebih jelas dirasakan di pulau ini yaitu transportasi, tim KKN kami pun merasakan hal ini. Pulau ini sangat jauh dari pulau besar Sulawesi, bahkan lebih dekat menuju Negara Filipina daripada ke Kabupaten Kepulauan Talaud. Tak heran bila aku pernah menemui cerita bahwa pernah ada seseorang yang meninggal di kapal karena terlambat penanganan. Wajar saja, karena rumah sakit hanya ada di kabupaten, sedangkan untuk menujunya perlu waktu sekitar 14 jam dengan menaiki kapal Sabuk Nusantara, itupun jika pada saat itu tepat dengan jadwal kapal singgah di dermaga. Jika tidak, warga harus menunggu karena kapal hanya datang setiap 2 minggu sekali. Sedih ya, apalagi jika mengingat keadaanku di Jawa, betapa banyaknya tenaga kesehatan yang menumpuk di tempat pelayanan kesehatan, sedangkan diluar sana ada banyak orang yang sangat membutuhkan jasa-jasa pelayanan medis.
Aku pernah mendapat cerita dari Oma, sebenarnya mereka sangat menginginkan keberadaan ahli medis di Pulau Marampit, atau setidaknya ada di pulau seberang yang lebih dekat yaitu Pulau Karatung sebagai pusat kecamatan Nanusa sehingga mereka tidak harus berpikir akan mengeluarkan  banyak biaya untuk membayar transportasi menuju Melonguane, belum lagi dengan tambahan beban biaya hidup disana selama 2minggu. Selain itu, jika harus ke rumah sakit otomatis mereka akan berhenti bekerja karena baru bisa kembali ke Marampit setelah kapal berlayar lagi. Aku sedikit berharap semoga suatu saat nanti ada kebijakan baru yang mempermudah akses pelayanan kesehatan ditempat-tempat seperti ini. Aku mendengarkan cerita Oma dengan antusias, tak terasa pipi Oma basah teraliri air mata, aku memeluknya erat untuk sedikit menenangkan. Setiap kisah ini telah menambah semangatku mengabdi untuk Indonesia, mungkin dengan cara ini Allah menegurku untuk belajar lebih giat lagi, karena masih banyak orang diluar sana yang membutuhkan tangan-tangan kita.
Sejak hari itu, aku sangat bersemangat memberikan jasa kesehatan untuk masyarakat, tak terkecuali dalam mengisi kelas kesehatan bagi anak-anak. Aku tau mereka sangat cepat menangkap informasi dengan nyanyian, maka tanpa berfikir panjang aku mencoba merangkai kata demi kata membuat lagu tentang kesehatan. Di suatu hari bernama hari Senin aku mengajar di kelas besar dengan materi cara menggosok gigi yang baik serta sesi tambahan tentang pengenalan singkat profesi kesehatan. Dengan nyanyian, aku coba menguraiakan materi satu demi satu, dan tak butuh waktu lama mereka dapat mengingatnya dengan tepat. Sekarang saatnya mereka mempraktikkan apa yang sudah aku ajarkan. Kesempatan pertama mempraktikkan didepan kelas diberikan untuk dua orang tercepat yang mengacungkan jari, dan baru saja ku ucapkan angka 1 dan 2 sudah banyak dari tangan mereka yang diacungkan sembari berteriak “saya ka…” lalu mereka berebut maju kedepan. Akhirnya, Ana dan Veronlah yang memenangkannya, dengan cepat mereka berlari kedepan untuk memeluk badanku. Mereka mempraktikkan gosok gigi sambil bernyanyi dan menggoyangkan pinggulnya, semua teman-temannya tertawa. Ah, aku semakin merindukan mereka. Semoga suatu hari nanti aku dapat singgah kembali di Pulau Marampit dan melihat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang sukses.
Setelah semua anak mencoba secara bersamaan, saatnya sesi pengenalan profesi kesehatan dimulai. Dengan segera aku memberikan pertanyaan pertama untuk anak-anak di dalam kelas, “Hayo, apa bedanya dokter, perawat dan bidan?” begitu tanyaku singkat. Jawabannya bervariasi, namun mayoritas menjawab bahwa profesi ini tugasnya adalah menyembuhkan orang sakit, sayangnya mereka tidak menyebutkan perbedaan dari ketiga profesi tersebut. Maklumlah, hal spesifik seperti ini belum menarik untuk mereka bicarakan, meski begitu aku tetap mencoba membahasanya karena aku berharap setelah ini akan tumbuh tekad lebih besar tentang cita-cita di dada mereka. Aku senang, mereka sangat aktif menjawab pertanyaanku, namun sepertinya tidak sama untuk pertanyaan kedua, saat aku bertanya siapa dari mereka yang bercita-cita menjadi dokter, mereka hanya diam dan saling berpandangan. Aku tidak bisa membaca pikiran mereka saat itu, suasana seketika hening. Namun tak lama kemudian ada seorang anak laki-laki yang dengan tegas mengacungkan tangannya dan menjawab seperti yang sudah aku tuliskan di baris paling awal dalam cerita ini. Kemudian diikuti oleh beberapa orang perempuan yang mengacungkan jari dan menjelaskan alasannya mengapa ingin menjadi dokter.
Untuk satu-satunya siswa laki-laki dan orang pertama kali yang mengacungkan jari, aku berinisiatif untuk memanggilnya kedepan kelas, aku menatapnya tajam dan menjabat tangan mungilnya dengan erat, Hai Veron, mulai hari ini namamu menjadi ‘pak dokter’, selamat ya”. Aku sengaja memberi tekanan lebih pada pengucapan ’pak dokter’ agar dia merasa bangga. Semua anak bertepuk tangan dan Veron hanya tersenyum simpul sambil bermanja menggoyangkan badannya sebelum kemudian berlari duduk tanpa aku perintah. Julukan itu ternyata melekat erat melebihi apa yang aku bayangkan, tidak hanya teman-teman yang akhirnya memanggil Veron dengan nama ini, tetapi juga para guru yang seolah semua mengamini. Hari ini aku sangat bahagia, terlebih kelas ditutup dengan nyanyian lagu ‘Pulau Marampit’ yang aku ciptakan seminggu lalu bersama Armel Montoh, pemuda Desa Marampit Timur.
Senja terus berganti, disuatu sore dalam perjalanan menuju dermaga kapal Sabuk di Desa Marampit, aku mendapati seorang anak kecil berkulit gelap berlari mendekatiku, dia membari tahu padaku bahwa ada titipan salam dari Veron, ucapnya lantang dengan nada yang sedikit berteriak. Tak hanya sore itu saja, hampir di setiap momen-momen tak terduga aku mendapat salam darinya melalui orang-orang yang berbeda, so sweet sekali ya. Sayangnya aku jarang menerima titipan salam dari seseorang yang sebenarnya aku nantikan ^_^. Dari beberapa titipan salam yang disampaikan, ada satu waktu yang paling aku ingat hingga sekarang, saat itu aku sedang duduk di dermaga menikmati pemandangan pantai sekaligus melihat kerumunan warga yang sedang asyik bermain voly, segerombolan anak kecil tiba-tiba datang menghampiriku. Aku sudah mengira bahwa yang akan mereka katakan adalah salam dari Veron, dan benar, lagi-lagi Veron menitipkannya untukku. Namun salam kali ini agak berbeda dari biasanya, mereka mengucapkannya dengan malu-malu, “ka Ulin, ada titipan salam lagi, katanya ‘pak dokter’ sayang sama kaka lho, cie cie cie”. Aku tertawa hebat saat itu, lucu sekali Veron menitipkan salam kepada teman-temannya sedangkan dia sendiri tidak pernah berani mendekatiku. Segera kukatakan kepada mereka balasan salam yang harus disampaikan pada Veron, “Katakan padanya, pak dokter, ka Ulin juga sayang sama kamu, begitu jawabku sambil tertawa. Mereka terlihat sangat bahagia dan kemudian pergi berlarian dengan berteriak “yeeeee”, seolah jawaban yang mereka inginkan sudah terkabul. Ah, membekas sekali suara anak-anak itu ditelingaku.
Sekarang aku semakin tak berjarak dengan anak-anak. Tak terkecuali Veron, akupun semakin mengenal siapa dia. Dia juga semakin pandai mencuri perhatianku, dengan tingkahnya yang polos terkadang dia memanggilku dari kejauhan lalu bersembunyi. Sabtu ini adalah jadwalku memimpin senam pagi, setelah selesai, sejenak ku istirahatkan badanku dan memilih duduk sendiri dibawah pohon rindang depan sekolah. Veron tiba-tiba datang mendekatiku dan memberikan es cokelat yang sangat aku sukai. Diam-diam ternyata dia memperhatikanku. Untuk kali ini aku memaksanya duduk disampingku dan bercerita banyak hal, ternyata dia memang merindukan sosok kakak perempuan dalam hidupnya, dan aku paham tentang hal ini. Cerita terus berlanjut hingga sampai pada pembahasan tentang alasan detail mengapa Veron memiliki cita-cita menjadi dokter. Namun saat itu dia hanya menatapku tanpa menjawab pertanyaan, dia justru berdiri dan mencoba pergi, aku memegang tangan mungilnya dan memohon dia untuk kembali duduk. Setelah itu, aku tidak memaksanya untuk menjawab pertanyaan. Aku diam untuk beberapa waktu, dan tanpa diminta lagi akhirnya dia menjawab pertanyaanku dengan sangat sederhana, hampir mirip dengan apa yang sudah aku ceritakan diawal, bahwa dia ingin orang-orang tidak perlu pergi ke Melonguane hanya untuk berobat, hanya akan menghabiskan uang untuk makan dan membayar kapal. Saat itu dia juga berjanji padaku akan lebih giat belajar lagi agar bisa mencapai cita-citanya menjadi seorang dokter hebat. Ah, aku semakin tak henti-hentinya bersyukur, diusianya yang masih belia, dia sudah memiliki kepedulian yang besar kepada oranglain. Aku bangga padamu dik, bahkan saat seusiamu aku tidak pernah berpikir tentang mimpi semulia itu.
Sungguh tak terasa, hari pengabdian di tempat KKN ini hampir berakhir. Ombak melambai menyeru deras, saat itu ombak besar, bahkan sempat beredar kabar bahwa kapal tidak akan bisa singgah di pelabuhan, mungkin ia tahu bahwa kami belum ingin pulang ke tanah Jawa. Di hari-hari terakhir, aku beberapa kali memilih untuk duduk berlama-lama di teras rumah. Seperti biasanya kupandangi jalanan dan kukembangkan senyum merekah pada setiap orang yang berjalan kaki melewati depan rumahku. Aku melamun, berfikir bahwa setelah pulang nanti aku pasti akan merindukan banyak hal ditempat ini, tentang lautnya, mandi pantainya, bioskop marampitnya, cuaca panasnya, pestanya, minumannya, makanannya, tawa candanya, senyumnya, tariannya, dermaganya, taman salibnya, bentengnya, mercunya, kuburannya, puskesmasnya, sekolahnya, perahu ting-tingnya, kapalnya, kaisarnya, ikannya, dego-degonya, gitarnya, senjanya, lobsternya, kelelawarnya, dan semua hal tentang Pulau Marampit. Aku beberapa kali menghela nafas dan tidak percaya, ini masih seperti mimpi. Meskipun hanya puluhan hari, tetapi perjalanan pertama ke luar jawa ini benar-benar memberikan banyak kesan positif untukku. Aku sangat berterima kasih kepada Allah, ini skenario yang indah untuk kami. Aku yakin teman-teman satu tim yang menamakan diri sebagai ‘sahabat marampit’ juga memiliki cerita inspiratifnya masing-masing dan mungkin jauh lebih menarik bila dikisahkan.
Segerombolan anak perempuan yang datang ke rumah berhasil membangunkanku dari lamunan. Mereka memberiku bungkusan kado warna-warni dan amplop berisi kertas surat. Tak perlu menunggu lama, surat itu kubuka satu persatu dan membuatku hampir saja menangis, beruntung aku mampu menahannya saat itu, aku tidak boleh bersedih, karena perpisahan pasti terjadi. Mereka memelukku, seolah tidak ingin merelakan. Seperti biasa aku ajak mereka memasuki kamarku beramai-ramai, kami bermain-main hingga akhirnya tertidur bersama. Senja sebentar lagi datang, aku meninggalkan mereka di kamar dan kembali duduk di teras rumah bersama teman-teman satu tim sembari menulis surat-surat yang harus dibalas hari itu juga. Ditengah seriusnya menulis, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki bertubuh kecil bernama Iman, dia memberiku secarik kertas serta sebungkus biskuit titipan dari Veron. Saat Iman mendekatiku, Veron memilih menunggu dibelakang rumah dan dengan malu-malu dia hanya berani mengintip saja dari kejauhan. Dia lucu sekali >.<.
Aku bergegas membuka surat itu dan membaca dengan cepat.

“Ka Ulin, trima kasi ya, hati-hati di jalanan ke Jogja. Maaf aku tida bisa beri hadia yang bagus seperti temang2 yang lain. Semoga kaka suka hadia dari pak dokter”,
           

                                         “DR.VERON P. BATUNAN”.

Aku membacanya berulang-ulang, dan kali ini aku tak mampu membendung airmata yang membuat kertas itu basah pada beberapa titik. Aku sangat bahagia, sebutan sederhana yang pernah aku ucapkan benar-benar terpatri, sebagai anak yang agak pemalu sepertinya dia sudah berani menuliskan gelar itu di depan namanya. Dik Veron, terima kasih, karena darimu aku belajar banyak hal, bahwa Indonesia bukan hanya Jogja dan Jakarta, Indonesia juga Marampit dengan mutiara-mutiara sepertimu. Doa sederhanaku semoga Tuhan memberkati anak-anak di ujung negeri ini, dan semoga julukan itu benar-benar akan terwujud sampai pada saatnya nanti Veron akan menjadi dokter abadi untuk pulau Marampit. Aamiin.
Selamat tinggal Pulau Marampit, aku akan kembali melanjutkan perjuanganku di Jawa,
namun percayalah, i
ni berakhir tapi semoga tidak akan menjadi yang terakhir. Tunggu aku kembali :).

-Wahyulin Aprilia, KKN PPM UGM SLU-02 Pulau Marampit, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Indonesia. Juni-Agustus, 2016-

Rabu, 23 November 2016

PULAU MARAMPIT


Pulau Kecil di ujung utara
Bibir pasifik Indonesia
Kaya sumber alamnya
Kental budaya dan adatnya

Bukit karang pasir dan samudera
Rempah-rempah ikan dan kelapa
Pulau dengan sejuta senyuman
Bagai bunga yang bermekaran


Reff:
Oh Pulau Marampit
Betapa aku cinta kau
Tak akan pernah berpaling
Slamanya slalu dihati
Meski badai datang
Walau bumi terbelah
Aku tetap darahmu
Atas nama Indonesia


KKN PPM UGM SLU-02
Pulau Marampit, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Indonesia.
Juni-Agustus, 2016
Lagu ini diciptakan dengan rasa cinta kasih pengabdian yang tulus untuk Indonesia.
Wahyulin Aprilia - Armel Montoh (Pemuda Pulau Marampit)