PULAU MARAMPIT, TEMPATKU MENEMUKAN CINTA
“PAK DOKTER, AKU JUGA SAYANG KAMU”
“Aku
ka Ulin, Aku mau jadi dokter, aku tolong sebentar orang Marampit yang sakit.” Suara lantang itu masih jelas terdengar dalam gendang
telingaku, dalam suasana kelas kesehatan, seorang bocah bernama Veron
memberanikan diri mengacungkan tangan dan menjawab dengan tegas. Untunglah,
dengan bahasa Indonesia yang tidak beraturan, aku masih mampu menangkap perkataan
yang dia ucapkan. Sebelum jauh ku ceritakan, bagiku Veron adalah mutiara yang
berhasil aku temukan diantara banyaknya gundukan pasir pantai Pulau Marampit.
Nama lengkapnya Veron Putra Batunan, dia adalah salah satu siswa kelas
lima di Sekolah Dasar Kristen SION Marampit.
Aku tidak paham bagaimana kesehariannya di sekolah sebelum kami datang, yang
pasti disetiap mengajar aku melihatnya sangat antusias didalam kelas. Menjadi
satu-satunya siswa laki-laki yang bermimpi menjadi dokter juga membuatku
sedikit melirik lebih dari biasanya.
Aku merasa sangat bersyukur, Allah memberiku
kesempatan untuk menapakkan kaki di salah satu pulau terluar negeri ini dan melihat
sisi lain dari Indonesia. Singkatnya, Pulau Marampit adalah satu dari tiga
pulau terluar di utara Indonesia yang berbatasan dengan Negara Filipina. Dengan
penduduknya yang 100% Non Muslim, aku juga belajar banyak tentang toleransi
beragama. Dibalik kisah itu, aku menyimpan beberapa kisah menarik yang
berhubungan dengan duniaku, kesehatan tentunya. Sebelum aku memantapkan niat untuk KKN di tempat ini, aku mencari informasi tentang kondisi kesehatan di Pulau
Marampit. Ketua timku mengatakan di tempat ini tidak ada dokter, hanya ada
perawat dan bidan saja. Setelah mendengar perkataannya, aku justru merasa
tertantang dan tak sabar ingin segera melihatnya secara nyata.
‘Bagai mencari jarum ditumpukkan jerami’, mungkin itu
adalah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kondisinya. Aku berada di
salah satu dari puluhan pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi
Utara, yang sudah hampir pasti penyebaran tenaga kesehatannya tidak merata.
Yah, secara logika siapa yang mau ditempatkan di pelosok negeri dengan
keterbatasan disana-sini, kecuali orang tersebut memang lahir ditempat itu.
Sebelum sampai di Marampit, aku dan teman satu tim medis menemui kepala bidang Kesehatan
Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten Kepualauan Talaud, Bu Vivi namanya. Beliau
mengatakan tidak adanya pemerataan tenaga kesehatan di pulau-pulau ini karena
keterbatasan dari segi jumlah peminat, terutama dokter. Beberapa tahun terakhir
saat sedang digencarkan program Pegawai Tidak Tetap (PTT), pendaftar dokter
juga jauh dibawah jumlah kuota yang disediakan, sehingga dinas kesehatan sangat
kesulitan untuk membagi. Mau tidak mau, para dokter, terutama dokter spesialis
akan ditempatkan di beberapa titik strategis yang memang sangat dibutuhkan.
Sedangkan untuk bidan, pihak Dinas Kesehatan dapat memastikan disetiap pulau
sudah ada bidan meskipun jumlahnya minim.
Oke, aku akan memulai pengabdian ini, pikirku. Tergambar
dengan samar seperti apa tempat yang akan kutinggali untuk puluhan hari
kedepan. Dan akhirnya disuatu pagi yang cerah, tibalah raga ini di Negeri
Porodisa Pulau Surga disambut dengan besarnya ombak pantai, kebetulan
saat itu sedang pasang. Aku menikmati serangkaian penyambutan adat yang sakral
lengkap dengan pestanya. Dari acara ini mulai ku temui setitik demi titik
makanan-makanan khas bersantan dan berkalori serta minuman dengan rasa manis
level tinggi. Pernah suatu kali temanku bergurau bahwa yang mereka minum
bukanlah teh manis, tetapi air gula rasa teh. (Hehe..) Aku mulai curiga dengan
tingginya kadar gula darah, kolesterol dan asam urat pada warga ditempat ini,
aku merasa beruntung karena kami sudah mempersiapkan alat pengecekan tersebut
dari Jogja. Sebagai satu-satunya mahasiswa medis yang bertanggungjawab pada 3
desa, setiap hari aku bersemangat mengecek kadar gula darah dan asam urat
warga Desa Marampit, Marampit Timur dan Laluhe. Dugaanku benar, aku berhasil menemukan begitu banyak orang yang kadar
gulanya melebihi normal. Selain karena makanan, menurutku hal ini mungkin juga
disebabkan karena kebiasaan mereka mengkonsumsi minuman “tjap tikus” yang kadar
gulanya memang sangat tinggi.
Suatu hari, kutelusuri bangunan puskesmas yang
sederhana. Kebetulan rumah tinggalku berhadapan langsung dengan puskesmas Pulau
Marampit sehingga dengan leluasa aku bisa keluar masuk. Kutemui seorang ibu
muda berkulit putih sedang duduk di ruang meja periksa, Kak Ita namanya. Ruangan
tempat periksa tidak lebar, tapi juga tidak terlalu sempit. Peralatan yang
kutemui tidak kurang, bahkan berlebih pada beberapa jenis alat. Sayangnya,
peralatan bantuan dari pemerintah ini tidak digunakan dengan optimal. Di
Puskesmas yang hanya membuka tiga jam
pelayanan, dari pukul 09.00-12.00 WITA
ini hanya ada seorang bidan sebagai kepala puskesmas dan 2 orang perawat
lulusan SPK atau setara SMA, serta tambahan tenaga satu orang bidan PTT dan dua
orang dari program GSC yang sebentar lagi akan meninggalkan Pulau Marampit, dan
bisa dipastikan disini tidak ada dokter yang berjaga. Mereka membagi tugas dan
bertanggungjawab terhadap satu pulau. Meski begitu, puskesmas sering sepi, masih
banyak warga yang enggan berobat sebelum sakit mereka benar-benar parah,
kepercayaan terhadap pengobatan tradisional masih sangat tinggi. Alasannya
sederhana, ‘toh akan sembuh dengan sendirinya nanti’.
Menarik, aku mulai menikmati alur hidup mereka, andai
diberi waktu lebih banyak untuk berada ditempat ini, aku tidak akan pernah
menolaknya, karena selain dapat mengabdi, aku juga bisa berlibur setiap hari dengan
birunya pantai yang masih sangat bersih dan pemandangan bentangan samudera serta
pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Marampit. Aku bersyukur, betapa Allah telah
menciptakan semuanya dengan sempurna. Disini aku juga merasakan hidup yang benar-benar
hidup, ketenangan tanpa persaingan dengan jelas aku rasakan. Hampir seluruh
warga di pulau ini tidak pernah menyembunyikan bibirnya untuk tersenyum, membuka
mulutnya untuk menyapa, serta meringankan tangannya untuk menolong. Meskipun
suara mereka lantang dan seolah-olah mengajak bertengkar, tetapi sungguh hati
mereka sangat lembut. Aku harus mengakui bahwa mereka adalah orang-orang kaya
yang tidak memperlihatkan kekayaannya, hidupnya sederhana dan gotong royongnya
sangat tinggi. Mengapa kaya? Yah, mereka tidak akan pernah kelaparan, selangkah
saja menyusuri bibir pantai dan duduk diam dengan pancing di tangan, sudah
pasti mereka akan mendapatkan sumber makanan untuk beberapa hari. Tak heran
jika anak-anak Pulau Marampit tumbuh sebagai anak yang cerdas, setiap hari
mereka mendapat asupan protein hewani dari berbagai jenis ikan dan kepiting
serta hewan laut lainnya. Sayangnya, kecerdasan yang mereka miliki tidak banyak
diasah, bahkan membiarkan saja kecerdasan itu pupus seiring berjalannya waktu.
Berbagai kendala semakin lama semakin nampak, jumlah
guru yang terbatas, kurangnya persaingan antar siswa sehingga mereka
santai-santai saja dalam bersekolah, serta kekerasan fisik di sekolah yang
masih ada. Namun dibalik itu, ada kendala lain yang jauh lebih jelas dirasakan
di pulau ini yaitu transportasi, tim KKN kami pun merasakan hal ini. Pulau ini
sangat jauh dari pulau besar Sulawesi, bahkan lebih dekat
menuju Negara Filipina daripada ke Kabupaten Kepulauan
Talaud. Tak heran
bila aku pernah menemui cerita bahwa pernah ada seseorang yang meninggal di
kapal karena terlambat penanganan. Wajar saja, karena rumah sakit hanya ada di
kabupaten, sedangkan untuk menujunya perlu waktu sekitar 14 jam dengan menaiki
kapal Sabuk Nusantara, itupun jika pada saat itu tepat dengan jadwal kapal
singgah di dermaga. Jika tidak, warga harus menunggu karena kapal hanya datang
setiap 2 minggu sekali. Sedih ya, apalagi jika mengingat keadaanku di Jawa,
betapa banyaknya tenaga kesehatan yang menumpuk di tempat pelayanan kesehatan,
sedangkan diluar sana ada banyak orang yang sangat membutuhkan jasa-jasa pelayanan
medis.
Aku pernah mendapat cerita dari Oma, sebenarnya mereka
sangat menginginkan keberadaan ahli
medis di Pulau Marampit, atau setidaknya ada di pulau seberang yang lebih dekat
yaitu Pulau Karatung sebagai pusat kecamatan Nanusa sehingga mereka tidak
harus berpikir akan mengeluarkan banyak biaya untuk membayar transportasi
menuju Melonguane, belum lagi dengan tambahan beban biaya hidup disana selama 2minggu.
Selain itu, jika harus ke rumah sakit otomatis mereka akan berhenti bekerja karena baru
bisa kembali ke Marampit setelah kapal berlayar lagi. Aku sedikit berharap
semoga suatu saat nanti ada kebijakan baru yang mempermudah akses pelayanan
kesehatan ditempat-tempat seperti ini. Aku mendengarkan cerita Oma dengan antusias, tak terasa pipi Oma basah teraliri
air mata, aku memeluknya erat untuk sedikit menenangkan. Setiap kisah ini telah
menambah semangatku mengabdi untuk
Indonesia, mungkin dengan cara ini Allah menegurku untuk belajar
lebih giat lagi, karena masih banyak orang diluar sana yang membutuhkan
tangan-tangan kita.
Sejak hari itu, aku sangat bersemangat memberikan jasa
kesehatan untuk masyarakat, tak terkecuali dalam mengisi kelas kesehatan bagi
anak-anak. Aku tau mereka sangat cepat menangkap informasi dengan nyanyian,
maka tanpa berfikir panjang aku mencoba merangkai kata demi kata membuat lagu
tentang kesehatan. Di suatu hari bernama hari Senin aku
mengajar di kelas besar dengan materi cara
menggosok gigi yang baik serta sesi
tambahan tentang pengenalan singkat profesi kesehatan. Dengan nyanyian, aku coba menguraiakan materi satu
demi satu, dan tak butuh waktu lama mereka dapat mengingatnya dengan tepat.
Sekarang saatnya mereka mempraktikkan apa yang sudah aku ajarkan. Kesempatan
pertama mempraktikkan didepan kelas diberikan untuk dua orang tercepat yang
mengacungkan jari, dan baru saja ku ucapkan angka 1 dan 2 sudah banyak dari
tangan mereka yang diacungkan sembari berteriak “saya ka…” lalu mereka berebut
maju kedepan. Akhirnya, Ana dan Veronlah yang memenangkannya, dengan
cepat mereka berlari kedepan untuk memeluk badanku.
Mereka mempraktikkan gosok gigi sambil bernyanyi dan menggoyangkan
pinggulnya, semua teman-temannya tertawa. Ah, aku semakin merindukan mereka.
Semoga suatu hari nanti aku dapat singgah kembali di Pulau Marampit dan melihat
mereka tumbuh menjadi orang-orang yang sukses.
Setelah semua anak mencoba secara bersamaan, saatnya
sesi pengenalan profesi kesehatan dimulai. Dengan segera aku memberikan pertanyaan
pertama untuk anak-anak di dalam kelas, “Hayo, apa bedanya
dokter, perawat dan bidan?” begitu tanyaku
singkat. Jawabannya bervariasi, namun mayoritas menjawab bahwa profesi ini
tugasnya adalah menyembuhkan orang sakit, sayangnya mereka tidak menyebutkan
perbedaan dari ketiga profesi tersebut. Maklumlah, hal spesifik seperti ini
belum menarik untuk mereka bicarakan, meski begitu aku tetap mencoba
membahasanya karena aku berharap setelah ini akan tumbuh tekad lebih besar tentang
cita-cita di dada mereka. Aku senang, mereka sangat aktif menjawab
pertanyaanku, namun sepertinya tidak sama untuk pertanyaan kedua, saat aku
bertanya siapa dari mereka yang bercita-cita menjadi dokter, mereka hanya diam
dan saling berpandangan. Aku tidak bisa membaca pikiran mereka saat itu, suasana
seketika hening. Namun tak lama kemudian ada seorang anak laki-laki yang dengan
tegas mengacungkan tangannya dan menjawab seperti yang sudah aku tuliskan di
baris paling awal dalam cerita ini. Kemudian diikuti oleh beberapa orang perempuan
yang mengacungkan jari dan menjelaskan alasannya mengapa ingin menjadi dokter.
Untuk satu-satunya siswa laki-laki dan orang pertama
kali yang mengacungkan jari, aku berinisiatif untuk memanggilnya kedepan kelas,
aku menatapnya tajam dan menjabat tangan mungilnya dengan erat, “Hai Veron, mulai hari
ini namamu menjadi ‘pak dokter’, selamat ya”. Aku sengaja memberi tekanan lebih pada pengucapan ’pak dokter’
agar dia merasa bangga. Semua anak bertepuk tangan dan
Veron hanya tersenyum simpul sambil bermanja menggoyangkan badannya sebelum kemudian berlari
duduk tanpa aku perintah.
Julukan itu ternyata melekat
erat melebihi apa yang aku bayangkan, tidak hanya teman-teman yang akhirnya memanggil Veron dengan nama
ini, tetapi juga para guru yang seolah semua mengamini. Hari ini aku sangat
bahagia, terlebih kelas ditutup dengan nyanyian lagu
‘Pulau Marampit’ yang aku ciptakan seminggu
lalu bersama Armel Montoh, pemuda Desa Marampit Timur.
Senja terus berganti, disuatu
sore dalam perjalanan menuju dermaga kapal Sabuk di Desa Marampit, aku mendapati seorang anak
kecil berkulit gelap berlari mendekatiku,
dia membari tahu padaku bahwa ada titipan salam dari Veron, ucapnya lantang
dengan nada yang sedikit berteriak. Tak hanya sore itu saja, hampir di setiap
momen-momen tak terduga aku mendapat salam darinya melalui orang-orang yang
berbeda, so sweet sekali ya.
Sayangnya aku jarang menerima titipan salam dari seseorang yang sebenarnya aku nantikan
^_^. Dari beberapa titipan salam yang disampaikan,
ada satu waktu yang paling aku ingat hingga sekarang, saat itu aku sedang duduk
di dermaga menikmati pemandangan pantai sekaligus melihat kerumunan warga yang
sedang asyik bermain voly, segerombolan anak kecil tiba-tiba datang menghampiriku.
Aku sudah mengira bahwa yang akan mereka katakan adalah
salam dari Veron, dan benar, lagi-lagi Veron menitipkannya untukku. Namun salam
kali ini agak berbeda dari biasanya, mereka mengucapkannya dengan malu-malu,
“ka Ulin, ada titipan salam lagi, katanya ‘pak dokter’ sayang sama kaka lho,
cie cie cie”. Aku tertawa hebat saat itu, lucu sekali Veron menitipkan salam
kepada teman-temannya sedangkan dia sendiri tidak pernah berani mendekatiku.
Segera kukatakan kepada mereka balasan salam yang harus disampaikan pada Veron,
“Katakan padanya, pak
dokter, ka Ulin juga sayang sama kamu”, begitu jawabku sambil
tertawa. Mereka terlihat sangat
bahagia dan kemudian pergi berlarian dengan berteriak “yeeeee”, seolah jawaban yang mereka inginkan sudah terkabul.
Ah, membekas sekali suara anak-anak itu ditelingaku.
Sekarang aku semakin tak berjarak dengan anak-anak.
Tak terkecuali Veron, akupun semakin mengenal siapa dia. Dia
juga semakin pandai mencuri
perhatianku, dengan tingkahnya yang polos
terkadang dia memanggilku dari kejauhan lalu bersembunyi. Sabtu ini adalah
jadwalku memimpin senam pagi, setelah selesai, sejenak ku istirahatkan badanku
dan memilih duduk sendiri dibawah pohon rindang depan sekolah. Veron tiba-tiba
datang mendekatiku dan memberikan es cokelat yang sangat aku sukai. Diam-diam ternyata
dia memperhatikanku. Untuk kali ini aku memaksanya duduk disampingku dan
bercerita banyak hal, ternyata dia memang merindukan sosok kakak perempuan dalam
hidupnya, dan aku paham tentang hal ini. Cerita terus berlanjut hingga sampai
pada pembahasan tentang alasan detail mengapa Veron memiliki cita-cita menjadi
dokter. Namun saat itu dia hanya menatapku tanpa menjawab pertanyaan, dia justru berdiri dan mencoba pergi, aku
memegang tangan mungilnya dan memohon dia untuk kembali duduk. Setelah itu, aku
tidak memaksanya untuk menjawab pertanyaan. Aku diam untuk beberapa waktu, dan tanpa
diminta lagi akhirnya dia menjawab pertanyaanku dengan sangat sederhana, hampir
mirip dengan apa yang sudah aku ceritakan diawal, bahwa dia ingin orang-orang
tidak perlu pergi ke Melonguane hanya untuk berobat, hanya akan menghabiskan
uang untuk makan dan membayar kapal. Saat itu dia juga berjanji padaku akan
lebih giat belajar lagi agar bisa mencapai cita-citanya menjadi seorang dokter hebat. Ah, aku
semakin tak henti-hentinya bersyukur, diusianya yang masih belia, dia sudah memiliki kepedulian yang
besar kepada oranglain. Aku bangga padamu dik, bahkan saat seusiamu aku tidak
pernah berpikir tentang mimpi semulia itu.
Sungguh tak terasa, hari pengabdian di tempat KKN ini
hampir berakhir. Ombak melambai menyeru deras, saat itu ombak besar, bahkan sempat beredar kabar
bahwa kapal tidak akan bisa singgah di pelabuhan, mungkin
ia tahu bahwa kami belum ingin pulang
ke tanah Jawa. Di
hari-hari terakhir, aku beberapa kali memilih untuk duduk
berlama-lama di teras rumah. Seperti
biasanya kupandangi jalanan dan kukembangkan senyum merekah pada setiap orang
yang berjalan kaki melewati depan rumahku. Aku melamun, berfikir bahwa setelah
pulang nanti aku pasti akan merindukan banyak hal ditempat ini, tentang lautnya, mandi pantainya, bioskop marampitnya, cuaca panasnya,
pestanya, minumannya, makanannya, tawa candanya, senyumnya, tariannya, dermaganya, taman salibnya,
bentengnya, mercunya, kuburannya, puskesmasnya, sekolahnya, perahu ting-tingnya,
kapalnya, kaisarnya, ikannya, dego-degonya, gitarnya, senjanya, lobsternya, kelelawarnya, dan semua hal
tentang Pulau Marampit. Aku beberapa kali menghela nafas dan tidak percaya, ini
masih seperti mimpi. Meskipun hanya puluhan hari, tetapi perjalanan pertama ke
luar jawa ini benar-benar memberikan banyak kesan positif untukku. Aku sangat
berterima kasih kepada Allah, ini skenario yang indah untuk kami. Aku yakin
teman-teman satu tim yang menamakan diri sebagai ‘sahabat marampit’ juga memiliki
cerita inspiratifnya masing-masing dan mungkin jauh lebih menarik bila dikisahkan.
Segerombolan anak
perempuan yang datang
ke rumah berhasil membangunkanku dari
lamunan. Mereka memberiku bungkusan kado
warna-warni dan amplop berisi kertas
surat.
Tak perlu menunggu lama, surat itu kubuka satu persatu
dan membuatku hampir saja menangis, beruntung aku mampu menahannya saat itu,
aku tidak boleh bersedih, karena perpisahan pasti terjadi.
Mereka memelukku, seolah tidak ingin merelakan. Seperti biasa aku ajak mereka memasuki kamarku beramai-ramai, kami bermain-main hingga
akhirnya tertidur bersama. Senja sebentar lagi datang, aku meninggalkan mereka
di kamar dan kembali duduk di teras rumah bersama teman-teman satu tim sembari
menulis surat-surat yang harus dibalas hari itu juga. Ditengah seriusnya
menulis, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki bertubuh kecil bernama
Iman, dia memberiku secarik
kertas serta sebungkus biskuit titipan dari Veron. Saat Iman mendekatiku, Veron memilih menunggu dibelakang
rumah dan dengan malu-malu dia hanya berani mengintip saja dari kejauhan. Dia lucu
sekali >.<.
Aku bergegas membuka surat itu dan membaca dengan
cepat.
“Ka Ulin, trima kasi ya,
hati-hati di jalanan ke Jogja. Maaf aku tida bisa beri hadia yang bagus
seperti temang2 yang lain. Semoga kaka suka hadia dari pak dokter”,
“DR.VERON P. BATUNAN”. |
Aku membacanya berulang-ulang, dan kali ini aku tak
mampu membendung airmata yang membuat kertas itu basah pada beberapa titik. Aku
sangat bahagia, sebutan sederhana yang pernah aku ucapkan benar-benar terpatri,
sebagai anak yang agak pemalu sepertinya dia sudah berani menuliskan gelar itu
di depan namanya. Dik Veron, terima kasih, karena darimu aku belajar banyak
hal, bahwa Indonesia bukan hanya Jogja dan
Jakarta, Indonesia juga Marampit
dengan mutiara-mutiara sepertimu. Doa sederhanaku semoga Tuhan
memberkati anak-anak di ujung negeri ini, dan
semoga
julukan itu benar-benar akan
terwujud sampai pada saatnya nanti Veron
akan menjadi dokter abadi untuk pulau Marampit. Aamiin.
Selamat tinggal Pulau Marampit, aku akan kembali melanjutkan perjuanganku di Jawa,
namun percayalah, ini berakhir tapi semoga tidak akan menjadi yang terakhir. Tunggu aku kembali :).
namun percayalah, ini berakhir tapi semoga tidak akan menjadi yang terakhir. Tunggu aku kembali :).
-Wahyulin Aprilia, KKN PPM UGM SLU-02 Pulau
Marampit, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara,
Indonesia. Juni-Agustus, 2016-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar