Kamis, 01 Desember 2016

Jejak Inspirasi #1


Jendelaku mulai terbuka, tiga tahun sudah ku ikhtiarkan kaki ini melangkah lebih cepat dari biasanya. Meski terkadang lelah, tersandung, lalu jatuh, namun tak butuh waktu lama cahaya itu berkelip lagi didepan mataku, membuatku bangkit dan kembali keras pada pijakan. Berjalan menapaki lorong-lorong memang butuh keberanian. Terjal, licin atau bahkan becek yang akhirnya membuat pakaianku kotor. Hingga kini, masih teringat jelas dalam benak memoriku, bagaimana untuk pertama kalinya meninggalkan Purbalingga, memberanikan diri untuk pergi bersama orang asing ke tempat yang entah dimana keberadaannya. Tidak pernah terbayang, Allah memberiku kesempatan untuk menghabiskan masa remajaku di kota pelajar, meninggalkan rumah dengan rasa takut yang tidak mudah tergambarkan serta rasa tidak percaya bahwa seorang gadis pingitan keluarga akhirnya dibiarkan berlari tanpa dititah lagi.

Aku, seorang gadis desa yang tidak lahir dari keluarga turunan keraton atau semacamnya, orangtuaku bahkan bukan pejabat desa, apalagi panglima angkatan perang. Tetapi aku cukup bersyukur, dengan dibalut kesederhanaan, hidupku layaknya puteri yang di banyak titik ada mata-mata yang mengintai keberadaanku. Tak lebih, itu adalah ulah konyol kedua kakak lelakiku. Sejak kecil, aku dididik untuk mencintai lingkungan rumah, selain harus sudah beranjak pulang sebelum matahari terbenam, aku juga tidak pernah diperbolehkan menginap dirumah oranglain, bahkan ketika aku memaksanya, aku akan tetap melihat suasana yang sama saat bangun tidur, sudah pasti tempat tidurku. Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, keadaanku sangat mereka khawatirkan. Namun meski begitu, aku justru tidak berkembang sebagai gadis yang halus dan lembut, bahkan sebaliknya, aku menjadi anak yang keras, nakal dan pembangkang, terkadang aku egois, ingin menang sendiri dari pada kedua kakak laki-lakiku. Aku sering bosan, aku merasa terperangkap dan tidak bisa berkutik. Mereka tidak pernah sekalipun mengajakku pergi bermalam minggu ke alun-alun kota, atau hanya sekedar pergi berlibur bersama diakhir pekan. Yang mereka bolehkan hanyalah melihatku bermain layang-layang di pinggiran kali kacangan dan mencari belut disawah, atau sekedar keliling kebun untuk mencari jamur dan dimasak bersama dengan teman-teman. Benar-benar anak desa.

Dengan begitu banyaknya aturan dan gambaran masa depan yang dibuat rapi oleh orangtua, aku mengikutinya dengan setengah hati. Namun, aku tidak tau bagaimana harus menyampaikannya kepada mereka. Aku jarang sekali membangkang, bisa jadi aku termasuk anak yang penurut, yah.. walaupun masih kalah jauh dari Mas Budi, kakak keduaku. Tempat sekolahpun sudah orangtua pilihkan, aku harus belajar di sekolah negeri terdekat yang tidak perlu menempuh jarak jauh, tanpa mereka pedulikan seperti apa kualitasnya. Suatu ketika, aku pernah berada dititik puncak amarah, aku merasa sudah mengikuti hampir semua apa yang mereka inginkan. Aku berharap, keinginanku kali ini dapat mereka iyakan. Saat itu aku berusia 14tahun dan sudah menamatkan SMP, sebagai ABG labil, cita-citaku pernah berubah-ubah bagaikan fluktuasi rupiah. Satu minggu sebelum ijazah SMP keluar, aku sudah menyiapkan banyak hal untuk mendaftar di SMA unggulan. Meskipun ragu, tetapi hampir semua berkas telah terpenuhi. Terkadang aku sangat yakin bisa lolos di SMA tersebut, mengingat nilaiku saat itu masih menduduki rangking atas dalam kriteria lolos seleksi berkas. Otakku terasa panas, mungkin jika saat itu telur diletakkan di atas kepalaku seketika isinya berubah menjadi bekuan padat berwarna putih dengan bagian kuningnya siap disantap lezat. Batinku berkecamuk, seolah berperang karena ada keyakinan lain bahwa orangtua akan tetap mengarahkanku untuk bersekolah di tempat pilihan mereka.

Aku termenung diam, ditengah lamunanku tiba-tiba seorang wanita setengah baya datang menghampiri dan mengelus kepalaku. Beliau adalah Sumini, ibuku. Saat melihat kertas-kertas berserakan di atas kasur, beliau hanya tersenyum simpul, dan dengan bahasa yang sengaja tidak ingin ku mengerti, secara halus beliau tidak mengizinkan aku pergi ke kota. Aku menunduk diam, aku ingin marah namun tak sanggup. Seketika, cahaya bagaikan datang diatas kepalaku dan memberi jawaban. Aku berusaha mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan mempraktikkan bakat pidatoku didepannya, dengan begitu, aku berpikir bahwa pikiran kolotnya dapat dibelokkan. Sayang sekali, dia memiliki pendirian yang jauh lebih kuat. Mungkin pada sel-sel otaknya tercipta keistimewaan sehingga sama sekali tidak bisa dipatahkan. Sedih, hatiku semakin panas dan menjadi-jadi, dengan secepat  kilat dalam dadaku timbul kebencian luar biasa, tak hanya padanya bahkan kepada seluruh keluargaku. Semua kebaikan mereka hilang dan aku berubah menjadi seorang pemberontak yang bengis.

Aku berlari dan menangis hebat didepan saudara ibuku, namun, ternyata sama saja, pendapat yang dia lontarkan sama sekali tidak membelaku. Aku semakin bersedih dan enggan berbuat apapun. Mengurung diri dan menangis adalah pilihanku. Sayangnya dulu aku belum akrab dengan HP, twitter, terlebih facebook, yah.. setidaknya bisa berlaga update status galau dan dikasihani dengan komenan-komenan cantik. Aku tak berhenti mengeluarkan air mata, sedih, marah, kesal, semuanya aku rasakan. Tapi, menangis juga ternyata membosankan dan membuatku lapar. Aku keluar kamar dan makan sebanyak-banyaknya, setelah itu kembali  masuk kekamar dan mengunci pintu dengan rapat. Aku mencoba mengatur strategi untuk menyelesaikan masalah ini, dan setelah dapat ide, aku memilih untuk segera tidur.

Tak seperti biasanya, pagi buta aku sudah mandi dan sudah cantik. Dengan berpakaian identitas sekolah, aku mulai melangkahkan kaki dengan mantap dan menyusuri jalan-jalan setapak. Aku memilih berangkat melewati sawah-sawah dan sungai seperti pada saat dulu menjadi siswa baru. Berangkat bersama para petani yang hendak membajak sawah dan memetik bunga melati, mendengar kicauan burung, gemercik air, menaiki sampan untuk melewati kali dan menghirup udara pagi yang masih sangat segar. Mungkin dengan begitu aku lebih bersyukur dan lebih tenang. 25menit berlalu, langkahku terhenti di sekolah yang sebentar lagi kutinggalkan, kumantapkan kaki ini menuju ruang kecil yang didalamnya ada seorang pria berumur 30an sedang asyik membaca buku. Dia adalah guru BK-ku yang memang sudah akrab, Pak Naslam namanya. Aku memasuki ruangan dan segera duduk, tanpa permisi aku tumpahkan semua keluh kesah yang tertancap dalam kepala, menusuk dan sakit. Tak ada jawaban apapun sampai aku berhenti dan berkata, sudah selesai pak ceritaku. Beliau diam untuk beberapa waktu, aku sudah berpikir bahwa jawabannya akan sama dengan saudara ibuku. Namun, ternyata tidak, dengan singkat jawabannya mampu mengguyur bara dalam batin, dan melumpuhkan semua amarahku. Dengan gayanya yang khas, dia menatap mataku tajam dan berkata tegas “Ibumu benar lin, jalani saja apakatanya. Dia surgamu. Bapak akan menyampaikan 1 pesan singkat yang harus kamu ingat sampai mati, catat sekarang di bukumu ‘Mutiara dalam lumpur, selamanya akan tetap menjadi mutiara’ bersiaplah bersinar ditempat belajarmu selanjutnya”, Jawabnya mantap.

-BERSAMBUNG-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar