Jejak
Inspirasi #1
Jendelaku
mulai terbuka, tiga tahun sudah ku ikhtiarkan kaki ini melangkah lebih cepat
dari biasanya. Meski terkadang lelah, tersandung, lalu jatuh, namun tak butuh
waktu lama cahaya itu berkelip lagi didepan mataku, membuatku bangkit dan
kembali keras pada pijakan. Berjalan menapaki lorong-lorong memang butuh
keberanian. Terjal, licin atau bahkan becek yang akhirnya membuat pakaianku
kotor. Hingga kini, masih teringat jelas dalam benak memoriku, bagaimana untuk pertama
kalinya meninggalkan Purbalingga, memberanikan diri untuk pergi bersama orang
asing ke tempat yang entah dimana keberadaannya. Tidak pernah terbayang, Allah
memberiku kesempatan untuk menghabiskan masa remajaku di kota pelajar, meninggalkan
rumah dengan rasa takut yang tidak mudah tergambarkan serta rasa tidak percaya
bahwa seorang gadis pingitan keluarga akhirnya dibiarkan berlari tanpa dititah
lagi.
Aku,
seorang gadis desa yang tidak lahir dari keluarga turunan keraton atau
semacamnya, orangtuaku bahkan bukan pejabat desa, apalagi panglima angkatan
perang. Tetapi aku cukup bersyukur, dengan dibalut kesederhanaan, hidupku
layaknya puteri yang di banyak titik ada mata-mata yang mengintai keberadaanku.
Tak lebih, itu adalah ulah konyol kedua kakak lelakiku. Sejak kecil, aku dididik
untuk mencintai lingkungan rumah, selain harus sudah beranjak pulang sebelum
matahari terbenam, aku juga tidak pernah diperbolehkan menginap dirumah
oranglain, bahkan ketika aku memaksanya, aku akan tetap melihat suasana yang
sama saat bangun tidur, sudah pasti tempat tidurku. Sebagai anak bungsu dan perempuan
satu-satunya, keadaanku sangat mereka khawatirkan. Namun meski begitu, aku
justru tidak berkembang sebagai gadis yang halus dan lembut, bahkan sebaliknya,
aku menjadi anak yang keras, nakal dan pembangkang, terkadang aku egois, ingin
menang sendiri dari pada kedua kakak laki-lakiku. Aku sering bosan, aku merasa
terperangkap dan tidak bisa berkutik. Mereka tidak pernah sekalipun mengajakku
pergi bermalam minggu ke alun-alun kota, atau hanya sekedar pergi berlibur
bersama diakhir pekan. Yang mereka bolehkan hanyalah melihatku bermain
layang-layang di pinggiran kali kacangan dan mencari belut disawah, atau
sekedar keliling kebun untuk mencari jamur dan dimasak bersama dengan
teman-teman. Benar-benar anak desa.
Dengan
begitu banyaknya aturan dan gambaran masa depan yang dibuat rapi oleh orangtua,
aku mengikutinya dengan setengah hati. Namun, aku tidak tau bagaimana harus
menyampaikannya kepada mereka. Aku jarang sekali membangkang, bisa jadi aku
termasuk anak yang penurut, yah.. walaupun masih kalah jauh dari Mas Budi,
kakak keduaku. Tempat sekolahpun sudah orangtua pilihkan, aku harus belajar di
sekolah negeri terdekat yang tidak perlu menempuh jarak jauh, tanpa mereka pedulikan
seperti apa kualitasnya. Suatu ketika, aku pernah berada dititik puncak amarah,
aku merasa sudah mengikuti hampir semua apa yang mereka inginkan. Aku berharap,
keinginanku kali ini dapat mereka iyakan. Saat itu aku berusia 14tahun dan
sudah menamatkan SMP, sebagai ABG labil, cita-citaku pernah berubah-ubah
bagaikan fluktuasi rupiah. Satu minggu sebelum ijazah SMP keluar, aku sudah
menyiapkan banyak hal untuk mendaftar di SMA unggulan. Meskipun ragu, tetapi
hampir semua berkas telah terpenuhi. Terkadang aku sangat yakin bisa lolos di
SMA tersebut, mengingat nilaiku saat itu masih menduduki rangking atas dalam
kriteria lolos seleksi berkas. Otakku terasa panas, mungkin jika saat itu telur
diletakkan di atas kepalaku seketika isinya berubah menjadi bekuan padat berwarna
putih dengan bagian kuningnya siap disantap lezat. Batinku berkecamuk, seolah
berperang karena ada keyakinan lain bahwa orangtua akan tetap mengarahkanku
untuk bersekolah di tempat pilihan mereka.
Aku
termenung diam, ditengah lamunanku tiba-tiba seorang wanita setengah baya datang
menghampiri dan mengelus kepalaku. Beliau adalah Sumini, ibuku. Saat melihat
kertas-kertas berserakan di atas kasur, beliau hanya tersenyum simpul, dan dengan
bahasa yang sengaja tidak ingin ku mengerti, secara halus beliau tidak
mengizinkan aku pergi ke kota. Aku menunduk diam, aku ingin marah namun tak
sanggup. Seketika, cahaya bagaikan datang diatas kepalaku dan memberi jawaban.
Aku berusaha mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan mempraktikkan bakat pidatoku
didepannya, dengan begitu, aku berpikir bahwa pikiran kolotnya dapat
dibelokkan. Sayang sekali, dia memiliki pendirian yang jauh lebih kuat. Mungkin
pada sel-sel otaknya tercipta keistimewaan sehingga sama sekali tidak bisa
dipatahkan. Sedih, hatiku semakin panas dan menjadi-jadi, dengan secepat kilat dalam dadaku timbul kebencian luar
biasa, tak hanya padanya bahkan kepada seluruh keluargaku. Semua kebaikan
mereka hilang dan aku berubah menjadi seorang pemberontak yang bengis.
Aku
berlari dan menangis hebat didepan saudara ibuku, namun, ternyata sama saja,
pendapat yang dia lontarkan sama sekali tidak membelaku. Aku semakin bersedih
dan enggan berbuat apapun. Mengurung diri dan menangis adalah pilihanku.
Sayangnya dulu aku belum akrab dengan HP, twitter, terlebih facebook, yah.. setidaknya
bisa berlaga update status galau dan dikasihani
dengan komenan-komenan cantik. Aku tak berhenti mengeluarkan air mata, sedih,
marah, kesal, semuanya aku rasakan. Tapi, menangis juga ternyata membosankan
dan membuatku lapar. Aku keluar kamar dan makan sebanyak-banyaknya, setelah itu
kembali masuk kekamar dan mengunci pintu
dengan rapat. Aku mencoba mengatur strategi untuk menyelesaikan masalah ini,
dan setelah dapat ide, aku memilih untuk segera tidur.
Tak
seperti biasanya, pagi buta aku sudah mandi dan sudah cantik. Dengan berpakaian
identitas sekolah, aku mulai melangkahkan kaki dengan mantap dan menyusuri
jalan-jalan setapak. Aku memilih berangkat melewati sawah-sawah dan sungai
seperti pada saat dulu menjadi siswa baru. Berangkat bersama para petani yang
hendak membajak sawah dan memetik bunga melati, mendengar kicauan burung,
gemercik air, menaiki sampan untuk melewati kali dan menghirup udara pagi yang
masih sangat segar. Mungkin dengan begitu aku lebih bersyukur dan lebih tenang.
25menit berlalu, langkahku terhenti di sekolah yang sebentar lagi kutinggalkan,
kumantapkan kaki ini menuju ruang kecil yang didalamnya ada seorang pria
berumur 30an sedang asyik membaca buku. Dia adalah guru BK-ku yang memang sudah
akrab, Pak Naslam namanya. Aku memasuki ruangan dan segera duduk, tanpa permisi
aku tumpahkan semua keluh kesah yang tertancap dalam kepala, menusuk dan sakit.
Tak ada jawaban apapun sampai aku berhenti dan berkata, sudah selesai pak
ceritaku. Beliau diam untuk beberapa waktu, aku sudah berpikir bahwa jawabannya
akan sama dengan saudara ibuku. Namun, ternyata tidak, dengan singkat
jawabannya mampu mengguyur bara dalam batin, dan melumpuhkan semua amarahku.
Dengan gayanya yang khas, dia menatap mataku tajam dan berkata tegas “Ibumu
benar lin, jalani saja apakatanya. Dia surgamu. Bapak akan menyampaikan 1 pesan
singkat yang harus kamu ingat sampai mati, catat sekarang di bukumu ‘Mutiara
dalam lumpur, selamanya akan tetap menjadi mutiara’ bersiaplah bersinar
ditempat belajarmu selanjutnya”, Jawabnya mantap.
-BERSAMBUNG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar