Sabtu, 17 Desember 2016


ANDAI MASIH, HARI INI DIA 23 TAHUN.

Alm. Kukuh Bayu Pamungkas 2010, satu-satunya sisa foto di laptop :)
           Saya melihatnya pertama kali saat kami sedang melewati seleksi tes kesehatan sebagai syarat masuk di SMA. Sebelumnya kami tidak saling mengenal karena memang berbeda sekolah. Tanpa mencoba menyapa dulu, dia bersama seorang teman lelakinya mendekati saya yang sedang duduk santai bersama teman satu identitas. Dengan gayanya yang sok kenal dia memberitahu kami bahwa didalam ruangan nanti jari kami akan ditusuk dan rasanya sangat sakit. Saya memarahinya setelah salah satu dari kami tiba-tiba menangis karena ternyata memiliki riwayat rauma dengan jarum. Kami berpindah posisi dan meninggalkannya dengan muka yang sangat masam.

Singkat cerita, ternyata kami dipertemukan kembali sebagai teman satu kelas di X-C dan semua kisah tentang kami dimulai sejak hari pertama bersekolah di SMA. Saat itu umur saya masih 14 tahun dan umurnya belum genap 17 tahun. Layaknya remaja pada umumnya, kami bertransformasi bersama mulai dari bermusuhan, menjadi teman biasa, bersahabat dan berlanjut sebagai cinta monyet yang saat ini lebih dikenal dengan istilah pacaran.

Bagaimanapun, saya pernah melewati masa ABG yang bisa diopinikan sebagai “remaja yang keliru” tapi bisa jadi ada benarnya juga. Meski demikian, sampai saat ini saya tidak pernah menyesal pernah melewati masa tersebut, yang dapat saya lakukan sekarang adalah berusaha belajar dari kesalahan dan memperbaikinya, terutama dalam hal manajeman waktu. Dulu saya begitu terlena belajar kehidupan dengannya yang memang secara pemikiran lebih dewasa pada beberapa hal, hampir setiap hari kami menghabiskan waktu bersama di sekolah dan sangat menyita waktu bersama teman-teman yang lain, sepulang sekolah kami sudah mulai berkelana kemanapun, paling sering kami memilih untuk mengunjungi sebuah pabrik milik ayahnya, berinteraksi dengan masyarakat dan berbagi pengalaman hidup.
Sebagai manusia normal, memang tidak semua hal yang kami lakukan baik, bahkan sifat umum remaja yang ingin selalu mencoba hal-hal baru juga sempat kami lakukan, contohnya seperti tidak mengerjakan tugas, sengaja datang sekolah terlambat dan dihukum guru kelas, sesekali bolos ekstrakulikuler dan beberapa kejadian kecil-kecil lainnya di sekolah yang belum pernah saya lakukan selama SD dan SMP. Namun yang menarik adalah hampir pada setiap kali melakukan kesalahan dia mencoba menjelaskan kepada saya alasan mengapa bertindak hal tersebut dan hikmah apa yang dapat diambil, dan pada akhirnya saya belajar.

Hidup diluar aturan memang terkadang lebih asik, sayangnya dulu saya belum begitu cerdik mengendalikan diri. Seringkali kami akhirnya mengabaikan pelajaran di sekolah dan hal ini membuat nilai saya turun di semester 2. Saat raport dibagikan, saya hanya memperoleh peringkat ke-2 dan inilah puncak kemarahan orangtua karena menganggap saya tidak cukup dewasa untuk membagi waktu. Sebagai seorang anak yang memang masih menjadi tanggungjawab keluarga, akhirnya saya menuruti keinginan mereka dan dengan berat hati memutuskan untuk tidak melanjutkan petualangan yang sudah berjalan selama 2 semester. Kami naik kelas dan akhirnya fokus dengan jurusan masing-masing sesuai pilihan. Dia melanjutkan perjuangan hidup dengan oranglain sedangkan saya memilih fokus dengan akademik dan berproses bersama teman-teman yang ternyata selama satu tahun sempat saya abaikan.

Lika-likunya panjang, cerita lengkapnya sudah saya tuangkan dalam sebuah novel berjudul “Kisah Kita” yang saya tulis selama 5 bulan mulai dari pasca perpisahan kami, mirisnya adalah ternyata novel itu menjadi kado terakhir dari saya di ulangtahunnya yang ke-18 tepat 5 tahun yang lalu pada tanggal 18 Desember 2011. Saat pertemuan kami yang terakhir, dengan wajah sumringah dia berjanji kepada saya akan membacanya sampai selesai. Namun beberapa hari setalah itu sakitnya kambuh dan koma di rumah sakit. Novel itu akhirnya hanya sempat dibaca oleh kakak kandungnya karena dia sudah dipanggil ke Surga di saat puncak komanya hari ke 10 tepat tanggal 1 Januari 2012 pukul 14.30 WIB. Perasaan sedih mendalam sudah pasti, namun mengikhlaskan adalah jalan terbaik yang saya pilih, Allah lebih menyayanginya.

Jika saat ini menurut orang tua hidup saya sudah jauh lebih baik, bagi saya salah satu orang yang berpengaruh besar adalah dia. Sebagai sosok yang sangat dekat dengan saya pertama kali, dia mampu mengajarkan banyak hal, baik dan buruk, serta menegaskan kepada saya bahwa setiap orang harus bertanggungjawab penuh terhadap apapun yang sudah dia pilih. Dan saat ini saya menyadari bahwa menjadi bidan adalah pilihan yang saya ambil dan harus saya pertanggungjawabkan secara utuh. Tak hanya itu, banyak sekali hikmah-hikmah kehidupan lain yang pernah dia tanamkan selama kami berproses bersama.

Mungkin saya pernah belajar banyak hal dengan memiliki teman laki-laki yang dengannya kami pernah membangun impian-impian bersama. Namun saya juga belajar bahwa tugas saya saat ini bukanlah membangun impian dengan satu orang saja, tetapi dengan beratus ribu oranglain yang dengan mereka ternyata saya mampu mewujudkan impian-impian yang jauh lebih besar. (Ini hanya opini saya saja).

Kepada teman dan adik-adik yang masih dalam masa ABG, saat ini saya hanya  berpesan untuk berhati-hati dengan waktu, semaksimal mungkin dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, jika ingin coba-coba, cobalah hal-hal positif yang menggugah keinginan untuk terus belajar, kembangkan bakat dan kemampuan. Jika teman-teman yang lain merasa menjadi anak 'gaul' dengan urak-urakan dalam permainan geng motor, keluar malam-malam untuk berduaan dengan lawan jenis, atau menghabiskan banyak waktu untuk melakukan hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas, cobalah memantapkan hati untuk memilih berlabel "gaul" dengan jalan yang lain, salah satunya dengan mengembangkan potensi dan berprestasi, InsyaAllah pilihan ini akan sangat bermanfaat ketika sudah dewasa nanti.
Bertransformasi dan berpetualang boleh, bahkan menurut ibu saya itu sangat penting, jangan sampai hidup kita hanya berkutat dengan belajar dan mengejar nilai akademik tanpa mampu berinteraksi baik dengan masayarakat, karena setinggi apapun jabatan nantinya, kita akan tetap kembali kepada masyarakat. Sebagai bekal, hal yang harus digarisbawahi  adalah bagaimana kita pandai memilih lingkungan yang benar serta pandai memilih oranglain untuk dijadikan sahabat, karena merekalah yang akan sangat memberi pengaruh dalam hidup kita. Yang terpenting jauh sebelum itu adalah komunikasi yang baik dengan orangtua dan guru, tidak perlu ada yang ditutup-tutupi, biasakan untuk terbuka dan bercerita jujur karena InsyaAllah orangtua paling memahami langkah terbaik bagi kita. Saya hanya salah satu orang beruntung yang bertemu dengan guru-guru luar biasa yang tidak pernah lelah mengingatkan saya. Sehingga saya sedikit menyadari bagaimana harus bertindak, meskipun tetap belum menjadi anak yang penurut sampai pada kesadaran itu benar-benar muncul dari diri sendiri. "Kenali dan berdamailah dengan diri, sukses akan mengikuti langkahmu", begitu kata salah seorang juri duta santri nasional kemarin.

Terkait dengan cinta monyet yang pernah saya alami, saya jadikan itu sebagai pembelajaran bagi hidup saya dan untuk anak-anak saya nanti. Mungkin sekarang saya sudah mulai paham bahwa pacaran itu tidak boleh, terutama dari kacamata ajaran agama islam, namun saya berusaha semaksimal mungkin cukup mencoba mengarahkan dan memberitahu, tanpa menjudge bahwa seseorang yang pacaran memiliki dosa yang besar, karena sungguh itu menjadi hak mutlak Allah swt sebagai sang Maha Pengatur. Saya yakin setiap orang mampu mempertanggungjawabkan dengan utuh setiap apa yang dia pilih. Saat menulis ini saya mencoba berkaca didepan cermin, semoga menjadi nasihat bagi diri sendiri. Tanpa menjadi terpuruk ketika mengingat masa-masa yang telah terlewati, saya sadar bahhwa setiap orang memiliki masalalu masing-masing, baik ataupun buruk, yang terpenting adalah bagaimana hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin dengan cara kita sendiri.

Dan untukmu, Almarhum Kukuh Bayu Pamungkas. 6tahun sejak awal perkenalan kita telah berlalu dan jejak-jejak hikmah itu masih terus ada. Terima kasih pernah mengajarkan banyak hal tentang hidup, semua hal yang pernah terlewati bersama membuatku ingin menjadikan hidup ini bermakna bagi orang-orang disekitar seperti yang selalu kamu lakukan. Terima kasih telah menjadi sosok inspiratif bagiku untuk berdakwah dan belajar agama lebih dan lebih giat lagi, menyadari betul bahwa Allah dapat mengambil nyawa manusia kapanpun dan dengan cara apapun. Semoga kamu bahagia di Surga dalam pelukan-Nya. Aamiin
Yogyakarta, 18 Desember 2016

Minggu, 11 Desember 2016


PONDOK PESANTREN MAHASISWI ASMA AMANINA

KISAH ASMA #1

Empat bulan di Rumah Cahaya Asma Amanina sudah memberi begitu banyak pengalaman dan pembelajaran baru. Untuk seseorang yang baru pernah hidup di pesantren, beberapa aturan yang ditetapkan serta padatnya jadwal belajar agama sempat membuat saya kewalahan apalagi dengan beban kuliah 24 SKS di kampus meskipun sudah semester 7. Jadwal rutin di asrama dimulai dari pagi sebelum subuh, kami dibiasakan untuk bangun sebelum suara kokok ayam terdengar dan belajar bermesraan dengan Allah pada sepertiga malam terakhir yang kemudian dilanjutkan sholat subuh berjamaah. Jam 05.00 WIB tepat kami sudah harus berpakaian rapi dan berada di kelas untuk memperoleh materi kuliah Asma sesuai jadwal. Selesai kelas pagi, bagi yang mendapat giliran piket Asma dan piket blok kamar, mereka harus segera bergegas menyelesaikan tanggungjawabnya sebelum melakukan kegiatan lain.

Kegiatan Asrama dimulai kembali pada sore hari, setelah bertebaran mencari ilmu dan belajar di tempat lain, sebelum maghrib kami sudah harus tiba di Asrama, melaksanakan sholat maghrib berjamaah dan dilanjutkan mentoring (pembinaan) sampai adzan Isya berkumandang dan akhirnya kami sholat isya berjamaah. Jam 20.00 WIB tepat kami kembali harus berada di kelas untuk kuliah malam yang seringkali selesai lebih dari jam seharusnya karena beberapa pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman belum selesai terjawab atau memang isi materi yang belum selesai disampaikan. Rasa lelah dan kantuk yang biasanya sangat kuat seringkali membuat beberapa dari kami tidak mampu menahan beban mata dan akhirnya belajar sambil duduk dengan mata terpejam, beberapa kali badan kami hampir jatuh dan ini menjadi pemandangan menggelikan.

Tidak selesai di kegiatan kelas malam, untuk tim yang mendapat giliran piket masak, mereka harus segera bergegas ke dapur dan menyiapkan makanan untuk sarapan satu asrama besok paginya. Bagi yang belum selesai tilawah sesuai target masing-masing, maka mereka menyelesaikan tilawahnya, yang masih ada tanggungan setoran diluar kelas biasanya mereka memanfaatkan waktu ini, atau bagi mereka yang masih ada amanah tugas kampus, maka bergadang menjadi pilihan yang memang harus di ambil. Malam kami jarang sepi sampai paling tidak jam 00.00 WIB. Saya yang pada awalnya jarang sekali bergadang, Asma adalah tempat pertama yang menyadarkan saya untuk bertindak tersebut, karena jika tidak demikian banyak hal yang terlewat dengan waktu yang habis untuk tidur, banyak tugas yang tertunda dan semakin menumpuk.

Bagi orang seperti saya yang manajemen waktunya masih belum baik, asrama memberi fasilitas untuk dapat memperbaikinya, jadwalnya sangat teratur dan setiap kegiatannya sudah jelas tertata rapi. Tidak hanya itu, saya pribadi belajar bertanggungjawab dengan utuh terhadap apa yang ditugaskan, yang penting lainnya adalah saya belajar menjadi ibu karena selain harus memasak, kami juga diberi waktu untuk belajar ‘momong’ ketiga anak ummi, menghadapi mereka saat menangis, bagaimana caranya membuat mereka nyaman dengan kita dan perkataan apa saja yang boleh dan tidak boleh diucapkan di depan anak-anak. Ini adalah pelajaran yang sangat jarang saya dapatkan selama ini.

Lalu yang menarik pada akhirnya adalah ketika musim UAS seperti sekarang ini. Saya dan beberapa teman dari UGM menghadapi amanah ganda untuk mempersiapkan fisik dan mental lebih dari biasanya. Minggu UAS di kampus berbarengan dengan UAS di Asrama, ini berarti mengharuskan kami bisa berbagi konsentrasi untuk mengingat beberapa materi yang berbeda dalam satu hari. Saya pribadi merasakan pengalaman baru bagaimana saat pagi hari jam 05.00 saya ujian di Asrama, jam 07.30-12.30 ujian di Kampus dan jam 20.00 kembali ujian di Asrama, 4 mata kuliah berbeda saya lewati setiap hari. Awalnya saya berpikir ini akan menjadi kegiatan yang berat dan sulit, namun ternyata dengan keikhlasan dan persiapan yang dilakukan seminggu sebelum minggu UAS semua dapat terlewati dengan baik.

Untuk menggapai sesuatu sesuai keinginan, terkadang kita memang perlu mengorbankan beberapa hal, salah satunya bertemu dengan keluarga. Minggu tenang langka di prodi kebidanan yang mayoritas dimanfaatkan untuk mudik dan berlibur bersama keluarga harus saya gunakan untuk mengulang kembali materi-materi yang disampaikan di kampus dan pesantren karena saya yakin tidak mampu melewatinya dengan SKS (Sistem Kebut Semalam) yang beberapa kali saya lakukan saat ujian.

Jadi, memutuskan untuk belajar di pesantren bagi saya adalah pilihan yang tepat, karena bukan hanya usaha dari kita yang membuat impian-impian kita tercapai, tetapi ada campur tangan Allah yang meringankan setiap langkah ketika kita memutuskan untuk mengabdikan diri belajar ilmu agama. Dan libur 2 hari pasca UAS ini saya gunakan untuk bersilaturahmi ke salah satu rumah sahabat di Magelang, menikmati berbagai wahana refreshing yang pada akhirnya membuat rasa lelah saya terbayarkan. Esok hari kami sudah siap dengan semangat yang baru untuk kembali pada rutinitas hidup di asrama, kampus, beberapa organisasi dan kegiatan lain yang menyenangkan. Karena selama hidup kita belajar !

Wahyulin Aprilia
Magelang, 12-12-2016

Jumat, 09 Desember 2016


MELAWAN RASA TAKUT DI MENTORING PERTAMA

Dalam teknik pembelajaran agama islam terdapat istilah mentoring atau pembinaan kepada adik tingkat, dan terkait siapa akan bertemu siapa itu sudah menjadi tanggungjawab pengurus harian. Suatu hari saya di WA oleh teman satu jurusan yang kebetulan menjadi pengurusnya, dia meminta saya untuk menjadi salah satu mentor yang akan memegang beberapa adik binaan,  saya memang tidak asing dengan kegiatan ini karena sudah mengikuti prosesnya selama kurang lebih 3 tahun. Saya sempat ragu untuk mengiyakan pada awalnya karena saya sadar bahwa menjadi seorang mentor bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Berdasarkan pengalaman pribadi saya pernah 3kali ganti mentor dan bagi saya mereka adalah sosok yang sangat inspiratif dalam bidang agama khususnya, saya tidak merasa demikian.

Ketakutan mulai timbul tatkala nama-nama adik binaan sudah saya pegang dan saatnya menghubungi mereka satu persatu. “Aku belum seperti mba-mba mentorku yang baik perangainya dan memang bisa menjadi contoh, apa lebih baik aku mundur saja” begitu pemikiran yang sempat singgah beberapa hari. Kekhawatiran ini akhirnya saya diskusikan dengan mentor saya di Asrama, dengan gaya bicaranya yang tegas dan lugas dia meyakinkan saya untuk memulai langkah ini dengan mantap. Kata-katanya memang benar-benar mampu menyulap pikiran, selesai dari balutan nasihat yang dia lontarkan, semangat ini terbakar dan rasanya ingin segera bertemu dengan adik-adik. Saya menghubungi satu persatu dengan bahasa yang sangat santun. Namun ternyata hanya satu orang yang ada waktu luang sesuai hari yang disepakati. Dan pada sela-sela komunikasi kami lewat medsos, dia melontarkan sebuah pertanyaan yang saya belum bisa menjawabnya saat itu padahal pertanyaannya sederhana. Saya sedih dengan ilmu yang masih sangat kurang ini, namun saya berjanji padanya untuk menjawab di kesempatan yang lain.

Hari yang ditunggu tiba, si adik sudah menyepakati untuk bertemu di salah satu warung makan khas ‘ngapak’ di Yogyakarta. Meskipun masih dengan keraguan, tetapi akhirnya saya memberanikan diri melangkahkan kaki memulai mentoring pertama. Si adik yang belum tau tempatnya meminta untuk dijemput di fakultas. Saya berpikir dia memang sendirian, ternyata dia mengajak temannya, saya sedikit lega. Tak lama setelah bertemu untuk pertama kali, kami segera bergegas menuju tempat makan.

Aneh, tidak seperti biasanya saya merasa sangat canggung berbincang dengan adik kelas. Timbul keraguan dalam diri, dan timbul pertanyaan ‘apa yang harus saya sampaikan nanti?’. Ternyata begini rasanya menjadi mentor untuk pertama kali, mungkin dulu juga mba-mba mentor mengalami masa ini. Namun beruntung, adik binaan saya ternyata bukan orang yang pendiam, dia mencairkan suasana seolah-olah kami sudah saling kenal sejak lama, dia menceritakan peristiwa hari ini yang katanya membosankan. Di sela-sela cerita yang disampaiakan dengan antusias dia melontarkan pertanyaan kepada saya, tiba-tiba jantung menjadi dag dig dug tak terkendali, saya khawatir dia akan menanyakan hal-hal yang seperti yang pernah dia tanyakan beberapa hari yang lalu, soalnya tidak susah, namun jawabannya sangat sensitive dan saya tidak memiliki keberanian lebih untuk langsung menjawabnya. Saya memperhatikan mimik bicaranya dengan seksama, dan ternyata dugaan saya melenceng, dia menanyakan banyak hal tentang tips manajemen waktu dan menjadi mahasiswa berprestasi, sesaat saya menghela napas karena merasa terselamatkan. Pada akhirnya dengan santai saya ceritakan beberapa pengalaman yang pernah saya alami selama kuliah sembari menyisipkan beberapa lelucon yang akhirnya membuat kami semua tertawa. Seketika itu rasa takut saya perlahan  pudar dan hilang. Saya semakin yakin untuk terus membina mereka, karena berbagi hal-hal kecil dengan imbalan terima kasih atau bahkan tanpa imbalan ternyata sangat menyenangkan.

Sekarang saya tau, rasa takut itu bisa muncul kapanpun, bahkan dari kejadian-kejadian kecil yang menurut kebanyakan orang biasa saja. Rasa takut hanya bisa dihilangkan dengan cara melawan dan menghadapinya dengan gagah. Namun yang lebih tepat adalah menghadapinya dengan persiapan yang matang seperti halnya materi-materi yang seharusnya saya pelajari dengan sungguh-sungguh terlebih dulu.

Kamis, 01 Desember 2016

Jejak Inspirasi #1


Jendelaku mulai terbuka, tiga tahun sudah ku ikhtiarkan kaki ini melangkah lebih cepat dari biasanya. Meski terkadang lelah, tersandung, lalu jatuh, namun tak butuh waktu lama cahaya itu berkelip lagi didepan mataku, membuatku bangkit dan kembali keras pada pijakan. Berjalan menapaki lorong-lorong memang butuh keberanian. Terjal, licin atau bahkan becek yang akhirnya membuat pakaianku kotor. Hingga kini, masih teringat jelas dalam benak memoriku, bagaimana untuk pertama kalinya meninggalkan Purbalingga, memberanikan diri untuk pergi bersama orang asing ke tempat yang entah dimana keberadaannya. Tidak pernah terbayang, Allah memberiku kesempatan untuk menghabiskan masa remajaku di kota pelajar, meninggalkan rumah dengan rasa takut yang tidak mudah tergambarkan serta rasa tidak percaya bahwa seorang gadis pingitan keluarga akhirnya dibiarkan berlari tanpa dititah lagi.

Aku, seorang gadis desa yang tidak lahir dari keluarga turunan keraton atau semacamnya, orangtuaku bahkan bukan pejabat desa, apalagi panglima angkatan perang. Tetapi aku cukup bersyukur, dengan dibalut kesederhanaan, hidupku layaknya puteri yang di banyak titik ada mata-mata yang mengintai keberadaanku. Tak lebih, itu adalah ulah konyol kedua kakak lelakiku. Sejak kecil, aku dididik untuk mencintai lingkungan rumah, selain harus sudah beranjak pulang sebelum matahari terbenam, aku juga tidak pernah diperbolehkan menginap dirumah oranglain, bahkan ketika aku memaksanya, aku akan tetap melihat suasana yang sama saat bangun tidur, sudah pasti tempat tidurku. Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, keadaanku sangat mereka khawatirkan. Namun meski begitu, aku justru tidak berkembang sebagai gadis yang halus dan lembut, bahkan sebaliknya, aku menjadi anak yang keras, nakal dan pembangkang, terkadang aku egois, ingin menang sendiri dari pada kedua kakak laki-lakiku. Aku sering bosan, aku merasa terperangkap dan tidak bisa berkutik. Mereka tidak pernah sekalipun mengajakku pergi bermalam minggu ke alun-alun kota, atau hanya sekedar pergi berlibur bersama diakhir pekan. Yang mereka bolehkan hanyalah melihatku bermain layang-layang di pinggiran kali kacangan dan mencari belut disawah, atau sekedar keliling kebun untuk mencari jamur dan dimasak bersama dengan teman-teman. Benar-benar anak desa.

Dengan begitu banyaknya aturan dan gambaran masa depan yang dibuat rapi oleh orangtua, aku mengikutinya dengan setengah hati. Namun, aku tidak tau bagaimana harus menyampaikannya kepada mereka. Aku jarang sekali membangkang, bisa jadi aku termasuk anak yang penurut, yah.. walaupun masih kalah jauh dari Mas Budi, kakak keduaku. Tempat sekolahpun sudah orangtua pilihkan, aku harus belajar di sekolah negeri terdekat yang tidak perlu menempuh jarak jauh, tanpa mereka pedulikan seperti apa kualitasnya. Suatu ketika, aku pernah berada dititik puncak amarah, aku merasa sudah mengikuti hampir semua apa yang mereka inginkan. Aku berharap, keinginanku kali ini dapat mereka iyakan. Saat itu aku berusia 14tahun dan sudah menamatkan SMP, sebagai ABG labil, cita-citaku pernah berubah-ubah bagaikan fluktuasi rupiah. Satu minggu sebelum ijazah SMP keluar, aku sudah menyiapkan banyak hal untuk mendaftar di SMA unggulan. Meskipun ragu, tetapi hampir semua berkas telah terpenuhi. Terkadang aku sangat yakin bisa lolos di SMA tersebut, mengingat nilaiku saat itu masih menduduki rangking atas dalam kriteria lolos seleksi berkas. Otakku terasa panas, mungkin jika saat itu telur diletakkan di atas kepalaku seketika isinya berubah menjadi bekuan padat berwarna putih dengan bagian kuningnya siap disantap lezat. Batinku berkecamuk, seolah berperang karena ada keyakinan lain bahwa orangtua akan tetap mengarahkanku untuk bersekolah di tempat pilihan mereka.

Aku termenung diam, ditengah lamunanku tiba-tiba seorang wanita setengah baya datang menghampiri dan mengelus kepalaku. Beliau adalah Sumini, ibuku. Saat melihat kertas-kertas berserakan di atas kasur, beliau hanya tersenyum simpul, dan dengan bahasa yang sengaja tidak ingin ku mengerti, secara halus beliau tidak mengizinkan aku pergi ke kota. Aku menunduk diam, aku ingin marah namun tak sanggup. Seketika, cahaya bagaikan datang diatas kepalaku dan memberi jawaban. Aku berusaha mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan mempraktikkan bakat pidatoku didepannya, dengan begitu, aku berpikir bahwa pikiran kolotnya dapat dibelokkan. Sayang sekali, dia memiliki pendirian yang jauh lebih kuat. Mungkin pada sel-sel otaknya tercipta keistimewaan sehingga sama sekali tidak bisa dipatahkan. Sedih, hatiku semakin panas dan menjadi-jadi, dengan secepat  kilat dalam dadaku timbul kebencian luar biasa, tak hanya padanya bahkan kepada seluruh keluargaku. Semua kebaikan mereka hilang dan aku berubah menjadi seorang pemberontak yang bengis.

Aku berlari dan menangis hebat didepan saudara ibuku, namun, ternyata sama saja, pendapat yang dia lontarkan sama sekali tidak membelaku. Aku semakin bersedih dan enggan berbuat apapun. Mengurung diri dan menangis adalah pilihanku. Sayangnya dulu aku belum akrab dengan HP, twitter, terlebih facebook, yah.. setidaknya bisa berlaga update status galau dan dikasihani dengan komenan-komenan cantik. Aku tak berhenti mengeluarkan air mata, sedih, marah, kesal, semuanya aku rasakan. Tapi, menangis juga ternyata membosankan dan membuatku lapar. Aku keluar kamar dan makan sebanyak-banyaknya, setelah itu kembali  masuk kekamar dan mengunci pintu dengan rapat. Aku mencoba mengatur strategi untuk menyelesaikan masalah ini, dan setelah dapat ide, aku memilih untuk segera tidur.

Tak seperti biasanya, pagi buta aku sudah mandi dan sudah cantik. Dengan berpakaian identitas sekolah, aku mulai melangkahkan kaki dengan mantap dan menyusuri jalan-jalan setapak. Aku memilih berangkat melewati sawah-sawah dan sungai seperti pada saat dulu menjadi siswa baru. Berangkat bersama para petani yang hendak membajak sawah dan memetik bunga melati, mendengar kicauan burung, gemercik air, menaiki sampan untuk melewati kali dan menghirup udara pagi yang masih sangat segar. Mungkin dengan begitu aku lebih bersyukur dan lebih tenang. 25menit berlalu, langkahku terhenti di sekolah yang sebentar lagi kutinggalkan, kumantapkan kaki ini menuju ruang kecil yang didalamnya ada seorang pria berumur 30an sedang asyik membaca buku. Dia adalah guru BK-ku yang memang sudah akrab, Pak Naslam namanya. Aku memasuki ruangan dan segera duduk, tanpa permisi aku tumpahkan semua keluh kesah yang tertancap dalam kepala, menusuk dan sakit. Tak ada jawaban apapun sampai aku berhenti dan berkata, sudah selesai pak ceritaku. Beliau diam untuk beberapa waktu, aku sudah berpikir bahwa jawabannya akan sama dengan saudara ibuku. Namun, ternyata tidak, dengan singkat jawabannya mampu mengguyur bara dalam batin, dan melumpuhkan semua amarahku. Dengan gayanya yang khas, dia menatap mataku tajam dan berkata tegas “Ibumu benar lin, jalani saja apakatanya. Dia surgamu. Bapak akan menyampaikan 1 pesan singkat yang harus kamu ingat sampai mati, catat sekarang di bukumu ‘Mutiara dalam lumpur, selamanya akan tetap menjadi mutiara’ bersiaplah bersinar ditempat belajarmu selanjutnya”, Jawabnya mantap.

-BERSAMBUNG-