Sabtu, 17 Desember 2016


ANDAI MASIH, HARI INI DIA 23 TAHUN.

Alm. Kukuh Bayu Pamungkas 2010, satu-satunya sisa foto di laptop :)
           Saya melihatnya pertama kali saat kami sedang melewati seleksi tes kesehatan sebagai syarat masuk di SMA. Sebelumnya kami tidak saling mengenal karena memang berbeda sekolah. Tanpa mencoba menyapa dulu, dia bersama seorang teman lelakinya mendekati saya yang sedang duduk santai bersama teman satu identitas. Dengan gayanya yang sok kenal dia memberitahu kami bahwa didalam ruangan nanti jari kami akan ditusuk dan rasanya sangat sakit. Saya memarahinya setelah salah satu dari kami tiba-tiba menangis karena ternyata memiliki riwayat rauma dengan jarum. Kami berpindah posisi dan meninggalkannya dengan muka yang sangat masam.

Singkat cerita, ternyata kami dipertemukan kembali sebagai teman satu kelas di X-C dan semua kisah tentang kami dimulai sejak hari pertama bersekolah di SMA. Saat itu umur saya masih 14 tahun dan umurnya belum genap 17 tahun. Layaknya remaja pada umumnya, kami bertransformasi bersama mulai dari bermusuhan, menjadi teman biasa, bersahabat dan berlanjut sebagai cinta monyet yang saat ini lebih dikenal dengan istilah pacaran.

Bagaimanapun, saya pernah melewati masa ABG yang bisa diopinikan sebagai “remaja yang keliru” tapi bisa jadi ada benarnya juga. Meski demikian, sampai saat ini saya tidak pernah menyesal pernah melewati masa tersebut, yang dapat saya lakukan sekarang adalah berusaha belajar dari kesalahan dan memperbaikinya, terutama dalam hal manajeman waktu. Dulu saya begitu terlena belajar kehidupan dengannya yang memang secara pemikiran lebih dewasa pada beberapa hal, hampir setiap hari kami menghabiskan waktu bersama di sekolah dan sangat menyita waktu bersama teman-teman yang lain, sepulang sekolah kami sudah mulai berkelana kemanapun, paling sering kami memilih untuk mengunjungi sebuah pabrik milik ayahnya, berinteraksi dengan masyarakat dan berbagi pengalaman hidup.
Sebagai manusia normal, memang tidak semua hal yang kami lakukan baik, bahkan sifat umum remaja yang ingin selalu mencoba hal-hal baru juga sempat kami lakukan, contohnya seperti tidak mengerjakan tugas, sengaja datang sekolah terlambat dan dihukum guru kelas, sesekali bolos ekstrakulikuler dan beberapa kejadian kecil-kecil lainnya di sekolah yang belum pernah saya lakukan selama SD dan SMP. Namun yang menarik adalah hampir pada setiap kali melakukan kesalahan dia mencoba menjelaskan kepada saya alasan mengapa bertindak hal tersebut dan hikmah apa yang dapat diambil, dan pada akhirnya saya belajar.

Hidup diluar aturan memang terkadang lebih asik, sayangnya dulu saya belum begitu cerdik mengendalikan diri. Seringkali kami akhirnya mengabaikan pelajaran di sekolah dan hal ini membuat nilai saya turun di semester 2. Saat raport dibagikan, saya hanya memperoleh peringkat ke-2 dan inilah puncak kemarahan orangtua karena menganggap saya tidak cukup dewasa untuk membagi waktu. Sebagai seorang anak yang memang masih menjadi tanggungjawab keluarga, akhirnya saya menuruti keinginan mereka dan dengan berat hati memutuskan untuk tidak melanjutkan petualangan yang sudah berjalan selama 2 semester. Kami naik kelas dan akhirnya fokus dengan jurusan masing-masing sesuai pilihan. Dia melanjutkan perjuangan hidup dengan oranglain sedangkan saya memilih fokus dengan akademik dan berproses bersama teman-teman yang ternyata selama satu tahun sempat saya abaikan.

Lika-likunya panjang, cerita lengkapnya sudah saya tuangkan dalam sebuah novel berjudul “Kisah Kita” yang saya tulis selama 5 bulan mulai dari pasca perpisahan kami, mirisnya adalah ternyata novel itu menjadi kado terakhir dari saya di ulangtahunnya yang ke-18 tepat 5 tahun yang lalu pada tanggal 18 Desember 2011. Saat pertemuan kami yang terakhir, dengan wajah sumringah dia berjanji kepada saya akan membacanya sampai selesai. Namun beberapa hari setalah itu sakitnya kambuh dan koma di rumah sakit. Novel itu akhirnya hanya sempat dibaca oleh kakak kandungnya karena dia sudah dipanggil ke Surga di saat puncak komanya hari ke 10 tepat tanggal 1 Januari 2012 pukul 14.30 WIB. Perasaan sedih mendalam sudah pasti, namun mengikhlaskan adalah jalan terbaik yang saya pilih, Allah lebih menyayanginya.

Jika saat ini menurut orang tua hidup saya sudah jauh lebih baik, bagi saya salah satu orang yang berpengaruh besar adalah dia. Sebagai sosok yang sangat dekat dengan saya pertama kali, dia mampu mengajarkan banyak hal, baik dan buruk, serta menegaskan kepada saya bahwa setiap orang harus bertanggungjawab penuh terhadap apapun yang sudah dia pilih. Dan saat ini saya menyadari bahwa menjadi bidan adalah pilihan yang saya ambil dan harus saya pertanggungjawabkan secara utuh. Tak hanya itu, banyak sekali hikmah-hikmah kehidupan lain yang pernah dia tanamkan selama kami berproses bersama.

Mungkin saya pernah belajar banyak hal dengan memiliki teman laki-laki yang dengannya kami pernah membangun impian-impian bersama. Namun saya juga belajar bahwa tugas saya saat ini bukanlah membangun impian dengan satu orang saja, tetapi dengan beratus ribu oranglain yang dengan mereka ternyata saya mampu mewujudkan impian-impian yang jauh lebih besar. (Ini hanya opini saya saja).

Kepada teman dan adik-adik yang masih dalam masa ABG, saat ini saya hanya  berpesan untuk berhati-hati dengan waktu, semaksimal mungkin dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, jika ingin coba-coba, cobalah hal-hal positif yang menggugah keinginan untuk terus belajar, kembangkan bakat dan kemampuan. Jika teman-teman yang lain merasa menjadi anak 'gaul' dengan urak-urakan dalam permainan geng motor, keluar malam-malam untuk berduaan dengan lawan jenis, atau menghabiskan banyak waktu untuk melakukan hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas, cobalah memantapkan hati untuk memilih berlabel "gaul" dengan jalan yang lain, salah satunya dengan mengembangkan potensi dan berprestasi, InsyaAllah pilihan ini akan sangat bermanfaat ketika sudah dewasa nanti.
Bertransformasi dan berpetualang boleh, bahkan menurut ibu saya itu sangat penting, jangan sampai hidup kita hanya berkutat dengan belajar dan mengejar nilai akademik tanpa mampu berinteraksi baik dengan masayarakat, karena setinggi apapun jabatan nantinya, kita akan tetap kembali kepada masyarakat. Sebagai bekal, hal yang harus digarisbawahi  adalah bagaimana kita pandai memilih lingkungan yang benar serta pandai memilih oranglain untuk dijadikan sahabat, karena merekalah yang akan sangat memberi pengaruh dalam hidup kita. Yang terpenting jauh sebelum itu adalah komunikasi yang baik dengan orangtua dan guru, tidak perlu ada yang ditutup-tutupi, biasakan untuk terbuka dan bercerita jujur karena InsyaAllah orangtua paling memahami langkah terbaik bagi kita. Saya hanya salah satu orang beruntung yang bertemu dengan guru-guru luar biasa yang tidak pernah lelah mengingatkan saya. Sehingga saya sedikit menyadari bagaimana harus bertindak, meskipun tetap belum menjadi anak yang penurut sampai pada kesadaran itu benar-benar muncul dari diri sendiri. "Kenali dan berdamailah dengan diri, sukses akan mengikuti langkahmu", begitu kata salah seorang juri duta santri nasional kemarin.

Terkait dengan cinta monyet yang pernah saya alami, saya jadikan itu sebagai pembelajaran bagi hidup saya dan untuk anak-anak saya nanti. Mungkin sekarang saya sudah mulai paham bahwa pacaran itu tidak boleh, terutama dari kacamata ajaran agama islam, namun saya berusaha semaksimal mungkin cukup mencoba mengarahkan dan memberitahu, tanpa menjudge bahwa seseorang yang pacaran memiliki dosa yang besar, karena sungguh itu menjadi hak mutlak Allah swt sebagai sang Maha Pengatur. Saya yakin setiap orang mampu mempertanggungjawabkan dengan utuh setiap apa yang dia pilih. Saat menulis ini saya mencoba berkaca didepan cermin, semoga menjadi nasihat bagi diri sendiri. Tanpa menjadi terpuruk ketika mengingat masa-masa yang telah terlewati, saya sadar bahhwa setiap orang memiliki masalalu masing-masing, baik ataupun buruk, yang terpenting adalah bagaimana hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin dengan cara kita sendiri.

Dan untukmu, Almarhum Kukuh Bayu Pamungkas. 6tahun sejak awal perkenalan kita telah berlalu dan jejak-jejak hikmah itu masih terus ada. Terima kasih pernah mengajarkan banyak hal tentang hidup, semua hal yang pernah terlewati bersama membuatku ingin menjadikan hidup ini bermakna bagi orang-orang disekitar seperti yang selalu kamu lakukan. Terima kasih telah menjadi sosok inspiratif bagiku untuk berdakwah dan belajar agama lebih dan lebih giat lagi, menyadari betul bahwa Allah dapat mengambil nyawa manusia kapanpun dan dengan cara apapun. Semoga kamu bahagia di Surga dalam pelukan-Nya. Aamiin
Yogyakarta, 18 Desember 2016

Minggu, 11 Desember 2016


PONDOK PESANTREN MAHASISWI ASMA AMANINA

KISAH ASMA #1

Empat bulan di Rumah Cahaya Asma Amanina sudah memberi begitu banyak pengalaman dan pembelajaran baru. Untuk seseorang yang baru pernah hidup di pesantren, beberapa aturan yang ditetapkan serta padatnya jadwal belajar agama sempat membuat saya kewalahan apalagi dengan beban kuliah 24 SKS di kampus meskipun sudah semester 7. Jadwal rutin di asrama dimulai dari pagi sebelum subuh, kami dibiasakan untuk bangun sebelum suara kokok ayam terdengar dan belajar bermesraan dengan Allah pada sepertiga malam terakhir yang kemudian dilanjutkan sholat subuh berjamaah. Jam 05.00 WIB tepat kami sudah harus berpakaian rapi dan berada di kelas untuk memperoleh materi kuliah Asma sesuai jadwal. Selesai kelas pagi, bagi yang mendapat giliran piket Asma dan piket blok kamar, mereka harus segera bergegas menyelesaikan tanggungjawabnya sebelum melakukan kegiatan lain.

Kegiatan Asrama dimulai kembali pada sore hari, setelah bertebaran mencari ilmu dan belajar di tempat lain, sebelum maghrib kami sudah harus tiba di Asrama, melaksanakan sholat maghrib berjamaah dan dilanjutkan mentoring (pembinaan) sampai adzan Isya berkumandang dan akhirnya kami sholat isya berjamaah. Jam 20.00 WIB tepat kami kembali harus berada di kelas untuk kuliah malam yang seringkali selesai lebih dari jam seharusnya karena beberapa pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman belum selesai terjawab atau memang isi materi yang belum selesai disampaikan. Rasa lelah dan kantuk yang biasanya sangat kuat seringkali membuat beberapa dari kami tidak mampu menahan beban mata dan akhirnya belajar sambil duduk dengan mata terpejam, beberapa kali badan kami hampir jatuh dan ini menjadi pemandangan menggelikan.

Tidak selesai di kegiatan kelas malam, untuk tim yang mendapat giliran piket masak, mereka harus segera bergegas ke dapur dan menyiapkan makanan untuk sarapan satu asrama besok paginya. Bagi yang belum selesai tilawah sesuai target masing-masing, maka mereka menyelesaikan tilawahnya, yang masih ada tanggungan setoran diluar kelas biasanya mereka memanfaatkan waktu ini, atau bagi mereka yang masih ada amanah tugas kampus, maka bergadang menjadi pilihan yang memang harus di ambil. Malam kami jarang sepi sampai paling tidak jam 00.00 WIB. Saya yang pada awalnya jarang sekali bergadang, Asma adalah tempat pertama yang menyadarkan saya untuk bertindak tersebut, karena jika tidak demikian banyak hal yang terlewat dengan waktu yang habis untuk tidur, banyak tugas yang tertunda dan semakin menumpuk.

Bagi orang seperti saya yang manajemen waktunya masih belum baik, asrama memberi fasilitas untuk dapat memperbaikinya, jadwalnya sangat teratur dan setiap kegiatannya sudah jelas tertata rapi. Tidak hanya itu, saya pribadi belajar bertanggungjawab dengan utuh terhadap apa yang ditugaskan, yang penting lainnya adalah saya belajar menjadi ibu karena selain harus memasak, kami juga diberi waktu untuk belajar ‘momong’ ketiga anak ummi, menghadapi mereka saat menangis, bagaimana caranya membuat mereka nyaman dengan kita dan perkataan apa saja yang boleh dan tidak boleh diucapkan di depan anak-anak. Ini adalah pelajaran yang sangat jarang saya dapatkan selama ini.

Lalu yang menarik pada akhirnya adalah ketika musim UAS seperti sekarang ini. Saya dan beberapa teman dari UGM menghadapi amanah ganda untuk mempersiapkan fisik dan mental lebih dari biasanya. Minggu UAS di kampus berbarengan dengan UAS di Asrama, ini berarti mengharuskan kami bisa berbagi konsentrasi untuk mengingat beberapa materi yang berbeda dalam satu hari. Saya pribadi merasakan pengalaman baru bagaimana saat pagi hari jam 05.00 saya ujian di Asrama, jam 07.30-12.30 ujian di Kampus dan jam 20.00 kembali ujian di Asrama, 4 mata kuliah berbeda saya lewati setiap hari. Awalnya saya berpikir ini akan menjadi kegiatan yang berat dan sulit, namun ternyata dengan keikhlasan dan persiapan yang dilakukan seminggu sebelum minggu UAS semua dapat terlewati dengan baik.

Untuk menggapai sesuatu sesuai keinginan, terkadang kita memang perlu mengorbankan beberapa hal, salah satunya bertemu dengan keluarga. Minggu tenang langka di prodi kebidanan yang mayoritas dimanfaatkan untuk mudik dan berlibur bersama keluarga harus saya gunakan untuk mengulang kembali materi-materi yang disampaikan di kampus dan pesantren karena saya yakin tidak mampu melewatinya dengan SKS (Sistem Kebut Semalam) yang beberapa kali saya lakukan saat ujian.

Jadi, memutuskan untuk belajar di pesantren bagi saya adalah pilihan yang tepat, karena bukan hanya usaha dari kita yang membuat impian-impian kita tercapai, tetapi ada campur tangan Allah yang meringankan setiap langkah ketika kita memutuskan untuk mengabdikan diri belajar ilmu agama. Dan libur 2 hari pasca UAS ini saya gunakan untuk bersilaturahmi ke salah satu rumah sahabat di Magelang, menikmati berbagai wahana refreshing yang pada akhirnya membuat rasa lelah saya terbayarkan. Esok hari kami sudah siap dengan semangat yang baru untuk kembali pada rutinitas hidup di asrama, kampus, beberapa organisasi dan kegiatan lain yang menyenangkan. Karena selama hidup kita belajar !

Wahyulin Aprilia
Magelang, 12-12-2016

Jumat, 09 Desember 2016


MELAWAN RASA TAKUT DI MENTORING PERTAMA

Dalam teknik pembelajaran agama islam terdapat istilah mentoring atau pembinaan kepada adik tingkat, dan terkait siapa akan bertemu siapa itu sudah menjadi tanggungjawab pengurus harian. Suatu hari saya di WA oleh teman satu jurusan yang kebetulan menjadi pengurusnya, dia meminta saya untuk menjadi salah satu mentor yang akan memegang beberapa adik binaan,  saya memang tidak asing dengan kegiatan ini karena sudah mengikuti prosesnya selama kurang lebih 3 tahun. Saya sempat ragu untuk mengiyakan pada awalnya karena saya sadar bahwa menjadi seorang mentor bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Berdasarkan pengalaman pribadi saya pernah 3kali ganti mentor dan bagi saya mereka adalah sosok yang sangat inspiratif dalam bidang agama khususnya, saya tidak merasa demikian.

Ketakutan mulai timbul tatkala nama-nama adik binaan sudah saya pegang dan saatnya menghubungi mereka satu persatu. “Aku belum seperti mba-mba mentorku yang baik perangainya dan memang bisa menjadi contoh, apa lebih baik aku mundur saja” begitu pemikiran yang sempat singgah beberapa hari. Kekhawatiran ini akhirnya saya diskusikan dengan mentor saya di Asrama, dengan gaya bicaranya yang tegas dan lugas dia meyakinkan saya untuk memulai langkah ini dengan mantap. Kata-katanya memang benar-benar mampu menyulap pikiran, selesai dari balutan nasihat yang dia lontarkan, semangat ini terbakar dan rasanya ingin segera bertemu dengan adik-adik. Saya menghubungi satu persatu dengan bahasa yang sangat santun. Namun ternyata hanya satu orang yang ada waktu luang sesuai hari yang disepakati. Dan pada sela-sela komunikasi kami lewat medsos, dia melontarkan sebuah pertanyaan yang saya belum bisa menjawabnya saat itu padahal pertanyaannya sederhana. Saya sedih dengan ilmu yang masih sangat kurang ini, namun saya berjanji padanya untuk menjawab di kesempatan yang lain.

Hari yang ditunggu tiba, si adik sudah menyepakati untuk bertemu di salah satu warung makan khas ‘ngapak’ di Yogyakarta. Meskipun masih dengan keraguan, tetapi akhirnya saya memberanikan diri melangkahkan kaki memulai mentoring pertama. Si adik yang belum tau tempatnya meminta untuk dijemput di fakultas. Saya berpikir dia memang sendirian, ternyata dia mengajak temannya, saya sedikit lega. Tak lama setelah bertemu untuk pertama kali, kami segera bergegas menuju tempat makan.

Aneh, tidak seperti biasanya saya merasa sangat canggung berbincang dengan adik kelas. Timbul keraguan dalam diri, dan timbul pertanyaan ‘apa yang harus saya sampaikan nanti?’. Ternyata begini rasanya menjadi mentor untuk pertama kali, mungkin dulu juga mba-mba mentor mengalami masa ini. Namun beruntung, adik binaan saya ternyata bukan orang yang pendiam, dia mencairkan suasana seolah-olah kami sudah saling kenal sejak lama, dia menceritakan peristiwa hari ini yang katanya membosankan. Di sela-sela cerita yang disampaiakan dengan antusias dia melontarkan pertanyaan kepada saya, tiba-tiba jantung menjadi dag dig dug tak terkendali, saya khawatir dia akan menanyakan hal-hal yang seperti yang pernah dia tanyakan beberapa hari yang lalu, soalnya tidak susah, namun jawabannya sangat sensitive dan saya tidak memiliki keberanian lebih untuk langsung menjawabnya. Saya memperhatikan mimik bicaranya dengan seksama, dan ternyata dugaan saya melenceng, dia menanyakan banyak hal tentang tips manajemen waktu dan menjadi mahasiswa berprestasi, sesaat saya menghela napas karena merasa terselamatkan. Pada akhirnya dengan santai saya ceritakan beberapa pengalaman yang pernah saya alami selama kuliah sembari menyisipkan beberapa lelucon yang akhirnya membuat kami semua tertawa. Seketika itu rasa takut saya perlahan  pudar dan hilang. Saya semakin yakin untuk terus membina mereka, karena berbagi hal-hal kecil dengan imbalan terima kasih atau bahkan tanpa imbalan ternyata sangat menyenangkan.

Sekarang saya tau, rasa takut itu bisa muncul kapanpun, bahkan dari kejadian-kejadian kecil yang menurut kebanyakan orang biasa saja. Rasa takut hanya bisa dihilangkan dengan cara melawan dan menghadapinya dengan gagah. Namun yang lebih tepat adalah menghadapinya dengan persiapan yang matang seperti halnya materi-materi yang seharusnya saya pelajari dengan sungguh-sungguh terlebih dulu.

Kamis, 01 Desember 2016

Jejak Inspirasi #1


Jendelaku mulai terbuka, tiga tahun sudah ku ikhtiarkan kaki ini melangkah lebih cepat dari biasanya. Meski terkadang lelah, tersandung, lalu jatuh, namun tak butuh waktu lama cahaya itu berkelip lagi didepan mataku, membuatku bangkit dan kembali keras pada pijakan. Berjalan menapaki lorong-lorong memang butuh keberanian. Terjal, licin atau bahkan becek yang akhirnya membuat pakaianku kotor. Hingga kini, masih teringat jelas dalam benak memoriku, bagaimana untuk pertama kalinya meninggalkan Purbalingga, memberanikan diri untuk pergi bersama orang asing ke tempat yang entah dimana keberadaannya. Tidak pernah terbayang, Allah memberiku kesempatan untuk menghabiskan masa remajaku di kota pelajar, meninggalkan rumah dengan rasa takut yang tidak mudah tergambarkan serta rasa tidak percaya bahwa seorang gadis pingitan keluarga akhirnya dibiarkan berlari tanpa dititah lagi.

Aku, seorang gadis desa yang tidak lahir dari keluarga turunan keraton atau semacamnya, orangtuaku bahkan bukan pejabat desa, apalagi panglima angkatan perang. Tetapi aku cukup bersyukur, dengan dibalut kesederhanaan, hidupku layaknya puteri yang di banyak titik ada mata-mata yang mengintai keberadaanku. Tak lebih, itu adalah ulah konyol kedua kakak lelakiku. Sejak kecil, aku dididik untuk mencintai lingkungan rumah, selain harus sudah beranjak pulang sebelum matahari terbenam, aku juga tidak pernah diperbolehkan menginap dirumah oranglain, bahkan ketika aku memaksanya, aku akan tetap melihat suasana yang sama saat bangun tidur, sudah pasti tempat tidurku. Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, keadaanku sangat mereka khawatirkan. Namun meski begitu, aku justru tidak berkembang sebagai gadis yang halus dan lembut, bahkan sebaliknya, aku menjadi anak yang keras, nakal dan pembangkang, terkadang aku egois, ingin menang sendiri dari pada kedua kakak laki-lakiku. Aku sering bosan, aku merasa terperangkap dan tidak bisa berkutik. Mereka tidak pernah sekalipun mengajakku pergi bermalam minggu ke alun-alun kota, atau hanya sekedar pergi berlibur bersama diakhir pekan. Yang mereka bolehkan hanyalah melihatku bermain layang-layang di pinggiran kali kacangan dan mencari belut disawah, atau sekedar keliling kebun untuk mencari jamur dan dimasak bersama dengan teman-teman. Benar-benar anak desa.

Dengan begitu banyaknya aturan dan gambaran masa depan yang dibuat rapi oleh orangtua, aku mengikutinya dengan setengah hati. Namun, aku tidak tau bagaimana harus menyampaikannya kepada mereka. Aku jarang sekali membangkang, bisa jadi aku termasuk anak yang penurut, yah.. walaupun masih kalah jauh dari Mas Budi, kakak keduaku. Tempat sekolahpun sudah orangtua pilihkan, aku harus belajar di sekolah negeri terdekat yang tidak perlu menempuh jarak jauh, tanpa mereka pedulikan seperti apa kualitasnya. Suatu ketika, aku pernah berada dititik puncak amarah, aku merasa sudah mengikuti hampir semua apa yang mereka inginkan. Aku berharap, keinginanku kali ini dapat mereka iyakan. Saat itu aku berusia 14tahun dan sudah menamatkan SMP, sebagai ABG labil, cita-citaku pernah berubah-ubah bagaikan fluktuasi rupiah. Satu minggu sebelum ijazah SMP keluar, aku sudah menyiapkan banyak hal untuk mendaftar di SMA unggulan. Meskipun ragu, tetapi hampir semua berkas telah terpenuhi. Terkadang aku sangat yakin bisa lolos di SMA tersebut, mengingat nilaiku saat itu masih menduduki rangking atas dalam kriteria lolos seleksi berkas. Otakku terasa panas, mungkin jika saat itu telur diletakkan di atas kepalaku seketika isinya berubah menjadi bekuan padat berwarna putih dengan bagian kuningnya siap disantap lezat. Batinku berkecamuk, seolah berperang karena ada keyakinan lain bahwa orangtua akan tetap mengarahkanku untuk bersekolah di tempat pilihan mereka.

Aku termenung diam, ditengah lamunanku tiba-tiba seorang wanita setengah baya datang menghampiri dan mengelus kepalaku. Beliau adalah Sumini, ibuku. Saat melihat kertas-kertas berserakan di atas kasur, beliau hanya tersenyum simpul, dan dengan bahasa yang sengaja tidak ingin ku mengerti, secara halus beliau tidak mengizinkan aku pergi ke kota. Aku menunduk diam, aku ingin marah namun tak sanggup. Seketika, cahaya bagaikan datang diatas kepalaku dan memberi jawaban. Aku berusaha mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan mempraktikkan bakat pidatoku didepannya, dengan begitu, aku berpikir bahwa pikiran kolotnya dapat dibelokkan. Sayang sekali, dia memiliki pendirian yang jauh lebih kuat. Mungkin pada sel-sel otaknya tercipta keistimewaan sehingga sama sekali tidak bisa dipatahkan. Sedih, hatiku semakin panas dan menjadi-jadi, dengan secepat  kilat dalam dadaku timbul kebencian luar biasa, tak hanya padanya bahkan kepada seluruh keluargaku. Semua kebaikan mereka hilang dan aku berubah menjadi seorang pemberontak yang bengis.

Aku berlari dan menangis hebat didepan saudara ibuku, namun, ternyata sama saja, pendapat yang dia lontarkan sama sekali tidak membelaku. Aku semakin bersedih dan enggan berbuat apapun. Mengurung diri dan menangis adalah pilihanku. Sayangnya dulu aku belum akrab dengan HP, twitter, terlebih facebook, yah.. setidaknya bisa berlaga update status galau dan dikasihani dengan komenan-komenan cantik. Aku tak berhenti mengeluarkan air mata, sedih, marah, kesal, semuanya aku rasakan. Tapi, menangis juga ternyata membosankan dan membuatku lapar. Aku keluar kamar dan makan sebanyak-banyaknya, setelah itu kembali  masuk kekamar dan mengunci pintu dengan rapat. Aku mencoba mengatur strategi untuk menyelesaikan masalah ini, dan setelah dapat ide, aku memilih untuk segera tidur.

Tak seperti biasanya, pagi buta aku sudah mandi dan sudah cantik. Dengan berpakaian identitas sekolah, aku mulai melangkahkan kaki dengan mantap dan menyusuri jalan-jalan setapak. Aku memilih berangkat melewati sawah-sawah dan sungai seperti pada saat dulu menjadi siswa baru. Berangkat bersama para petani yang hendak membajak sawah dan memetik bunga melati, mendengar kicauan burung, gemercik air, menaiki sampan untuk melewati kali dan menghirup udara pagi yang masih sangat segar. Mungkin dengan begitu aku lebih bersyukur dan lebih tenang. 25menit berlalu, langkahku terhenti di sekolah yang sebentar lagi kutinggalkan, kumantapkan kaki ini menuju ruang kecil yang didalamnya ada seorang pria berumur 30an sedang asyik membaca buku. Dia adalah guru BK-ku yang memang sudah akrab, Pak Naslam namanya. Aku memasuki ruangan dan segera duduk, tanpa permisi aku tumpahkan semua keluh kesah yang tertancap dalam kepala, menusuk dan sakit. Tak ada jawaban apapun sampai aku berhenti dan berkata, sudah selesai pak ceritaku. Beliau diam untuk beberapa waktu, aku sudah berpikir bahwa jawabannya akan sama dengan saudara ibuku. Namun, ternyata tidak, dengan singkat jawabannya mampu mengguyur bara dalam batin, dan melumpuhkan semua amarahku. Dengan gayanya yang khas, dia menatap mataku tajam dan berkata tegas “Ibumu benar lin, jalani saja apakatanya. Dia surgamu. Bapak akan menyampaikan 1 pesan singkat yang harus kamu ingat sampai mati, catat sekarang di bukumu ‘Mutiara dalam lumpur, selamanya akan tetap menjadi mutiara’ bersiaplah bersinar ditempat belajarmu selanjutnya”, Jawabnya mantap.

-BERSAMBUNG-

Jumat, 25 November 2016

PULAU MARAMPIT, TEMPATKU MENEMUKAN CINTA
PAK DOKTER, AKU JUGA SAYANG KAMU

                “Aku ka Ulin, Aku mau jadi dokter, aku tolong sebentar orang Marampit yang sakit.” Suara lantang itu masih jelas terdengar dalam gendang telingaku, dalam suasana kelas kesehatan, seorang bocah bernama Veron memberanikan diri mengacungkan tangan dan menjawab dengan tegas. Untunglah, dengan bahasa Indonesia yang tidak beraturan, aku masih mampu menangkap perkataan yang dia ucapkan. Sebelum jauh ku ceritakan, bagiku Veron adalah mutiara yang berhasil aku temukan diantara banyaknya gundukan pasir pantai Pulau Marampit. Nama lengkapnya Veron Putra Batunan, dia adalah salah satu siswa kelas lima di Sekolah Dasar Kristen SION Marampit. Aku tidak paham bagaimana kesehariannya di sekolah sebelum kami datang, yang pasti disetiap mengajar aku melihatnya sangat antusias didalam kelas. Menjadi satu-satunya siswa laki-laki yang bermimpi menjadi dokter juga membuatku sedikit melirik lebih dari biasanya.

Aku merasa sangat bersyukur, Allah memberiku kesempatan untuk menapakkan kaki di salah satu pulau terluar negeri ini dan melihat sisi lain dari Indonesia. Singkatnya, Pulau Marampit adalah satu dari tiga pulau terluar di utara Indonesia yang berbatasan dengan Negara Filipina. Dengan penduduknya yang 100% Non Muslim, aku juga belajar banyak tentang toleransi beragama. Dibalik kisah itu, aku menyimpan beberapa kisah menarik yang berhubungan dengan duniaku, kesehatan tentunya. Sebelum aku memantapkan niat untuk KKN di tempat ini, aku mencari informasi tentang kondisi kesehatan di Pulau Marampit. Ketua timku mengatakan di tempat ini tidak ada dokter, hanya ada perawat dan bidan saja. Setelah mendengar perkataannya, aku justru merasa tertantang dan tak sabar ingin segera melihatnya secara nyata.
‘Bagai mencari jarum ditumpukkan jerami’, mungkin itu adalah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kondisinya. Aku berada di salah satu dari puluhan pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara, yang sudah hampir pasti penyebaran tenaga kesehatannya tidak merata. Yah, secara logika siapa yang mau ditempatkan di pelosok negeri dengan keterbatasan disana-sini, kecuali orang tersebut memang lahir ditempat itu. Sebelum sampai di Marampit, aku dan teman satu tim medis menemui kepala bidang Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten Kepualauan Talaud, Bu Vivi namanya. Beliau mengatakan tidak adanya pemerataan tenaga kesehatan di pulau-pulau ini karena keterbatasan dari segi jumlah peminat, terutama dokter. Beberapa tahun terakhir saat sedang digencarkan program Pegawai Tidak Tetap (PTT), pendaftar dokter juga jauh dibawah jumlah kuota yang disediakan, sehingga dinas kesehatan sangat kesulitan untuk membagi. Mau tidak mau, para dokter, terutama dokter spesialis akan ditempatkan di beberapa titik strategis yang memang sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk bidan, pihak Dinas Kesehatan dapat memastikan disetiap pulau sudah ada bidan meskipun jumlahnya minim.
Oke, aku akan memulai pengabdian ini, pikirku. Tergambar dengan samar seperti apa tempat yang akan kutinggali untuk puluhan hari kedepan. Dan akhirnya disuatu pagi yang cerah, tibalah raga ini di Negeri Porodisa Pulau Surga disambut dengan besarnya ombak pantai, kebetulan saat itu sedang pasang. Aku menikmati serangkaian penyambutan adat yang sakral lengkap dengan pestanya. Dari acara ini mulai ku temui setitik demi titik makanan-makanan khas bersantan dan berkalori serta minuman dengan rasa manis level tinggi. Pernah suatu kali temanku bergurau bahwa yang mereka minum bukanlah teh manis, tetapi air gula rasa teh. (Hehe..) Aku mulai curiga dengan tingginya kadar gula darah, kolesterol dan asam urat pada warga ditempat ini, aku merasa beruntung karena kami sudah mempersiapkan alat pengecekan tersebut dari Jogja. Sebagai satu-satunya mahasiswa medis yang bertanggungjawab pada 3 desa, setiap hari aku bersemangat mengecek kadar gula darah dan asam urat warga Desa Marampit, Marampit Timur dan Laluhe. Dugaanku benar, aku berhasil menemukan begitu banyak orang yang kadar gulanya melebihi normal. Selain karena makanan, menurutku hal ini mungkin juga disebabkan karena kebiasaan mereka mengkonsumsi minuman “tjap tikus” yang kadar gulanya memang sangat tinggi.
Suatu hari, kutelusuri bangunan puskesmas yang sederhana. Kebetulan rumah tinggalku berhadapan langsung dengan puskesmas Pulau Marampit sehingga dengan leluasa aku bisa keluar masuk. Kutemui seorang ibu muda berkulit putih sedang duduk di ruang meja periksa, Kak Ita namanya. Ruangan tempat periksa tidak lebar, tapi juga tidak terlalu sempit. Peralatan yang kutemui tidak kurang, bahkan berlebih pada beberapa jenis alat. Sayangnya, peralatan bantuan dari pemerintah ini tidak digunakan dengan optimal. Di Puskesmas yang hanya membuka tiga jam pelayanan, dari pukul 09.00-12.00 WITA ini hanya ada seorang bidan sebagai kepala puskesmas dan 2 orang perawat lulusan SPK atau setara SMA, serta tambahan tenaga satu orang bidan PTT dan dua orang dari program GSC yang sebentar lagi akan meninggalkan Pulau Marampit, dan bisa dipastikan disini tidak ada dokter yang berjaga. Mereka membagi tugas dan bertanggungjawab terhadap satu pulau. Meski begitu, puskesmas sering sepi, masih banyak warga yang enggan berobat sebelum sakit mereka benar-benar parah, kepercayaan terhadap pengobatan tradisional masih sangat tinggi. Alasannya sederhana, ‘toh akan sembuh dengan sendirinya nanti’.
Menarik, aku mulai menikmati alur hidup mereka, andai diberi waktu lebih banyak untuk berada ditempat ini, aku tidak akan pernah menolaknya, karena selain dapat mengabdi, aku juga bisa berlibur setiap hari dengan birunya pantai yang masih sangat bersih dan pemandangan bentangan samudera serta pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Marampit. Aku bersyukur, betapa Allah telah menciptakan semuanya dengan sempurna. Disini aku juga merasakan hidup yang benar-benar hidup, ketenangan tanpa persaingan dengan jelas aku rasakan. Hampir seluruh warga di pulau ini tidak pernah menyembunyikan bibirnya untuk tersenyum, membuka mulutnya untuk menyapa, serta meringankan tangannya untuk menolong. Meskipun suara mereka lantang dan seolah-olah mengajak bertengkar, tetapi sungguh hati mereka sangat lembut. Aku harus mengakui bahwa mereka adalah orang-orang kaya yang tidak memperlihatkan kekayaannya, hidupnya sederhana dan gotong royongnya sangat tinggi. Mengapa kaya? Yah, mereka tidak akan pernah kelaparan, selangkah saja menyusuri bibir pantai dan duduk diam dengan pancing di tangan, sudah pasti mereka akan mendapatkan sumber makanan untuk beberapa hari. Tak heran jika anak-anak Pulau Marampit tumbuh sebagai anak yang cerdas, setiap hari mereka mendapat asupan protein hewani dari berbagai jenis ikan dan kepiting serta hewan laut lainnya. Sayangnya, kecerdasan yang mereka miliki tidak banyak diasah, bahkan membiarkan saja kecerdasan itu pupus seiring berjalannya waktu.
Berbagai kendala semakin lama semakin nampak, jumlah guru yang terbatas, kurangnya persaingan antar siswa sehingga mereka santai-santai saja dalam bersekolah, serta kekerasan fisik di sekolah yang masih ada. Namun dibalik itu, ada kendala lain yang jauh lebih jelas dirasakan di pulau ini yaitu transportasi, tim KKN kami pun merasakan hal ini. Pulau ini sangat jauh dari pulau besar Sulawesi, bahkan lebih dekat menuju Negara Filipina daripada ke Kabupaten Kepulauan Talaud. Tak heran bila aku pernah menemui cerita bahwa pernah ada seseorang yang meninggal di kapal karena terlambat penanganan. Wajar saja, karena rumah sakit hanya ada di kabupaten, sedangkan untuk menujunya perlu waktu sekitar 14 jam dengan menaiki kapal Sabuk Nusantara, itupun jika pada saat itu tepat dengan jadwal kapal singgah di dermaga. Jika tidak, warga harus menunggu karena kapal hanya datang setiap 2 minggu sekali. Sedih ya, apalagi jika mengingat keadaanku di Jawa, betapa banyaknya tenaga kesehatan yang menumpuk di tempat pelayanan kesehatan, sedangkan diluar sana ada banyak orang yang sangat membutuhkan jasa-jasa pelayanan medis.
Aku pernah mendapat cerita dari Oma, sebenarnya mereka sangat menginginkan keberadaan ahli medis di Pulau Marampit, atau setidaknya ada di pulau seberang yang lebih dekat yaitu Pulau Karatung sebagai pusat kecamatan Nanusa sehingga mereka tidak harus berpikir akan mengeluarkan  banyak biaya untuk membayar transportasi menuju Melonguane, belum lagi dengan tambahan beban biaya hidup disana selama 2minggu. Selain itu, jika harus ke rumah sakit otomatis mereka akan berhenti bekerja karena baru bisa kembali ke Marampit setelah kapal berlayar lagi. Aku sedikit berharap semoga suatu saat nanti ada kebijakan baru yang mempermudah akses pelayanan kesehatan ditempat-tempat seperti ini. Aku mendengarkan cerita Oma dengan antusias, tak terasa pipi Oma basah teraliri air mata, aku memeluknya erat untuk sedikit menenangkan. Setiap kisah ini telah menambah semangatku mengabdi untuk Indonesia, mungkin dengan cara ini Allah menegurku untuk belajar lebih giat lagi, karena masih banyak orang diluar sana yang membutuhkan tangan-tangan kita.
Sejak hari itu, aku sangat bersemangat memberikan jasa kesehatan untuk masyarakat, tak terkecuali dalam mengisi kelas kesehatan bagi anak-anak. Aku tau mereka sangat cepat menangkap informasi dengan nyanyian, maka tanpa berfikir panjang aku mencoba merangkai kata demi kata membuat lagu tentang kesehatan. Di suatu hari bernama hari Senin aku mengajar di kelas besar dengan materi cara menggosok gigi yang baik serta sesi tambahan tentang pengenalan singkat profesi kesehatan. Dengan nyanyian, aku coba menguraiakan materi satu demi satu, dan tak butuh waktu lama mereka dapat mengingatnya dengan tepat. Sekarang saatnya mereka mempraktikkan apa yang sudah aku ajarkan. Kesempatan pertama mempraktikkan didepan kelas diberikan untuk dua orang tercepat yang mengacungkan jari, dan baru saja ku ucapkan angka 1 dan 2 sudah banyak dari tangan mereka yang diacungkan sembari berteriak “saya ka…” lalu mereka berebut maju kedepan. Akhirnya, Ana dan Veronlah yang memenangkannya, dengan cepat mereka berlari kedepan untuk memeluk badanku. Mereka mempraktikkan gosok gigi sambil bernyanyi dan menggoyangkan pinggulnya, semua teman-temannya tertawa. Ah, aku semakin merindukan mereka. Semoga suatu hari nanti aku dapat singgah kembali di Pulau Marampit dan melihat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang sukses.
Setelah semua anak mencoba secara bersamaan, saatnya sesi pengenalan profesi kesehatan dimulai. Dengan segera aku memberikan pertanyaan pertama untuk anak-anak di dalam kelas, “Hayo, apa bedanya dokter, perawat dan bidan?” begitu tanyaku singkat. Jawabannya bervariasi, namun mayoritas menjawab bahwa profesi ini tugasnya adalah menyembuhkan orang sakit, sayangnya mereka tidak menyebutkan perbedaan dari ketiga profesi tersebut. Maklumlah, hal spesifik seperti ini belum menarik untuk mereka bicarakan, meski begitu aku tetap mencoba membahasanya karena aku berharap setelah ini akan tumbuh tekad lebih besar tentang cita-cita di dada mereka. Aku senang, mereka sangat aktif menjawab pertanyaanku, namun sepertinya tidak sama untuk pertanyaan kedua, saat aku bertanya siapa dari mereka yang bercita-cita menjadi dokter, mereka hanya diam dan saling berpandangan. Aku tidak bisa membaca pikiran mereka saat itu, suasana seketika hening. Namun tak lama kemudian ada seorang anak laki-laki yang dengan tegas mengacungkan tangannya dan menjawab seperti yang sudah aku tuliskan di baris paling awal dalam cerita ini. Kemudian diikuti oleh beberapa orang perempuan yang mengacungkan jari dan menjelaskan alasannya mengapa ingin menjadi dokter.
Untuk satu-satunya siswa laki-laki dan orang pertama kali yang mengacungkan jari, aku berinisiatif untuk memanggilnya kedepan kelas, aku menatapnya tajam dan menjabat tangan mungilnya dengan erat, Hai Veron, mulai hari ini namamu menjadi ‘pak dokter’, selamat ya”. Aku sengaja memberi tekanan lebih pada pengucapan ’pak dokter’ agar dia merasa bangga. Semua anak bertepuk tangan dan Veron hanya tersenyum simpul sambil bermanja menggoyangkan badannya sebelum kemudian berlari duduk tanpa aku perintah. Julukan itu ternyata melekat erat melebihi apa yang aku bayangkan, tidak hanya teman-teman yang akhirnya memanggil Veron dengan nama ini, tetapi juga para guru yang seolah semua mengamini. Hari ini aku sangat bahagia, terlebih kelas ditutup dengan nyanyian lagu ‘Pulau Marampit’ yang aku ciptakan seminggu lalu bersama Armel Montoh, pemuda Desa Marampit Timur.
Senja terus berganti, disuatu sore dalam perjalanan menuju dermaga kapal Sabuk di Desa Marampit, aku mendapati seorang anak kecil berkulit gelap berlari mendekatiku, dia membari tahu padaku bahwa ada titipan salam dari Veron, ucapnya lantang dengan nada yang sedikit berteriak. Tak hanya sore itu saja, hampir di setiap momen-momen tak terduga aku mendapat salam darinya melalui orang-orang yang berbeda, so sweet sekali ya. Sayangnya aku jarang menerima titipan salam dari seseorang yang sebenarnya aku nantikan ^_^. Dari beberapa titipan salam yang disampaikan, ada satu waktu yang paling aku ingat hingga sekarang, saat itu aku sedang duduk di dermaga menikmati pemandangan pantai sekaligus melihat kerumunan warga yang sedang asyik bermain voly, segerombolan anak kecil tiba-tiba datang menghampiriku. Aku sudah mengira bahwa yang akan mereka katakan adalah salam dari Veron, dan benar, lagi-lagi Veron menitipkannya untukku. Namun salam kali ini agak berbeda dari biasanya, mereka mengucapkannya dengan malu-malu, “ka Ulin, ada titipan salam lagi, katanya ‘pak dokter’ sayang sama kaka lho, cie cie cie”. Aku tertawa hebat saat itu, lucu sekali Veron menitipkan salam kepada teman-temannya sedangkan dia sendiri tidak pernah berani mendekatiku. Segera kukatakan kepada mereka balasan salam yang harus disampaikan pada Veron, “Katakan padanya, pak dokter, ka Ulin juga sayang sama kamu, begitu jawabku sambil tertawa. Mereka terlihat sangat bahagia dan kemudian pergi berlarian dengan berteriak “yeeeee”, seolah jawaban yang mereka inginkan sudah terkabul. Ah, membekas sekali suara anak-anak itu ditelingaku.
Sekarang aku semakin tak berjarak dengan anak-anak. Tak terkecuali Veron, akupun semakin mengenal siapa dia. Dia juga semakin pandai mencuri perhatianku, dengan tingkahnya yang polos terkadang dia memanggilku dari kejauhan lalu bersembunyi. Sabtu ini adalah jadwalku memimpin senam pagi, setelah selesai, sejenak ku istirahatkan badanku dan memilih duduk sendiri dibawah pohon rindang depan sekolah. Veron tiba-tiba datang mendekatiku dan memberikan es cokelat yang sangat aku sukai. Diam-diam ternyata dia memperhatikanku. Untuk kali ini aku memaksanya duduk disampingku dan bercerita banyak hal, ternyata dia memang merindukan sosok kakak perempuan dalam hidupnya, dan aku paham tentang hal ini. Cerita terus berlanjut hingga sampai pada pembahasan tentang alasan detail mengapa Veron memiliki cita-cita menjadi dokter. Namun saat itu dia hanya menatapku tanpa menjawab pertanyaan, dia justru berdiri dan mencoba pergi, aku memegang tangan mungilnya dan memohon dia untuk kembali duduk. Setelah itu, aku tidak memaksanya untuk menjawab pertanyaan. Aku diam untuk beberapa waktu, dan tanpa diminta lagi akhirnya dia menjawab pertanyaanku dengan sangat sederhana, hampir mirip dengan apa yang sudah aku ceritakan diawal, bahwa dia ingin orang-orang tidak perlu pergi ke Melonguane hanya untuk berobat, hanya akan menghabiskan uang untuk makan dan membayar kapal. Saat itu dia juga berjanji padaku akan lebih giat belajar lagi agar bisa mencapai cita-citanya menjadi seorang dokter hebat. Ah, aku semakin tak henti-hentinya bersyukur, diusianya yang masih belia, dia sudah memiliki kepedulian yang besar kepada oranglain. Aku bangga padamu dik, bahkan saat seusiamu aku tidak pernah berpikir tentang mimpi semulia itu.
Sungguh tak terasa, hari pengabdian di tempat KKN ini hampir berakhir. Ombak melambai menyeru deras, saat itu ombak besar, bahkan sempat beredar kabar bahwa kapal tidak akan bisa singgah di pelabuhan, mungkin ia tahu bahwa kami belum ingin pulang ke tanah Jawa. Di hari-hari terakhir, aku beberapa kali memilih untuk duduk berlama-lama di teras rumah. Seperti biasanya kupandangi jalanan dan kukembangkan senyum merekah pada setiap orang yang berjalan kaki melewati depan rumahku. Aku melamun, berfikir bahwa setelah pulang nanti aku pasti akan merindukan banyak hal ditempat ini, tentang lautnya, mandi pantainya, bioskop marampitnya, cuaca panasnya, pestanya, minumannya, makanannya, tawa candanya, senyumnya, tariannya, dermaganya, taman salibnya, bentengnya, mercunya, kuburannya, puskesmasnya, sekolahnya, perahu ting-tingnya, kapalnya, kaisarnya, ikannya, dego-degonya, gitarnya, senjanya, lobsternya, kelelawarnya, dan semua hal tentang Pulau Marampit. Aku beberapa kali menghela nafas dan tidak percaya, ini masih seperti mimpi. Meskipun hanya puluhan hari, tetapi perjalanan pertama ke luar jawa ini benar-benar memberikan banyak kesan positif untukku. Aku sangat berterima kasih kepada Allah, ini skenario yang indah untuk kami. Aku yakin teman-teman satu tim yang menamakan diri sebagai ‘sahabat marampit’ juga memiliki cerita inspiratifnya masing-masing dan mungkin jauh lebih menarik bila dikisahkan.
Segerombolan anak perempuan yang datang ke rumah berhasil membangunkanku dari lamunan. Mereka memberiku bungkusan kado warna-warni dan amplop berisi kertas surat. Tak perlu menunggu lama, surat itu kubuka satu persatu dan membuatku hampir saja menangis, beruntung aku mampu menahannya saat itu, aku tidak boleh bersedih, karena perpisahan pasti terjadi. Mereka memelukku, seolah tidak ingin merelakan. Seperti biasa aku ajak mereka memasuki kamarku beramai-ramai, kami bermain-main hingga akhirnya tertidur bersama. Senja sebentar lagi datang, aku meninggalkan mereka di kamar dan kembali duduk di teras rumah bersama teman-teman satu tim sembari menulis surat-surat yang harus dibalas hari itu juga. Ditengah seriusnya menulis, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki bertubuh kecil bernama Iman, dia memberiku secarik kertas serta sebungkus biskuit titipan dari Veron. Saat Iman mendekatiku, Veron memilih menunggu dibelakang rumah dan dengan malu-malu dia hanya berani mengintip saja dari kejauhan. Dia lucu sekali >.<.
Aku bergegas membuka surat itu dan membaca dengan cepat.

“Ka Ulin, trima kasi ya, hati-hati di jalanan ke Jogja. Maaf aku tida bisa beri hadia yang bagus seperti temang2 yang lain. Semoga kaka suka hadia dari pak dokter”,
           

                                         “DR.VERON P. BATUNAN”.

Aku membacanya berulang-ulang, dan kali ini aku tak mampu membendung airmata yang membuat kertas itu basah pada beberapa titik. Aku sangat bahagia, sebutan sederhana yang pernah aku ucapkan benar-benar terpatri, sebagai anak yang agak pemalu sepertinya dia sudah berani menuliskan gelar itu di depan namanya. Dik Veron, terima kasih, karena darimu aku belajar banyak hal, bahwa Indonesia bukan hanya Jogja dan Jakarta, Indonesia juga Marampit dengan mutiara-mutiara sepertimu. Doa sederhanaku semoga Tuhan memberkati anak-anak di ujung negeri ini, dan semoga julukan itu benar-benar akan terwujud sampai pada saatnya nanti Veron akan menjadi dokter abadi untuk pulau Marampit. Aamiin.
Selamat tinggal Pulau Marampit, aku akan kembali melanjutkan perjuanganku di Jawa,
namun percayalah, i
ni berakhir tapi semoga tidak akan menjadi yang terakhir. Tunggu aku kembali :).

-Wahyulin Aprilia, KKN PPM UGM SLU-02 Pulau Marampit, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Indonesia. Juni-Agustus, 2016-

Rabu, 23 November 2016

PULAU MARAMPIT


Pulau Kecil di ujung utara
Bibir pasifik Indonesia
Kaya sumber alamnya
Kental budaya dan adatnya

Bukit karang pasir dan samudera
Rempah-rempah ikan dan kelapa
Pulau dengan sejuta senyuman
Bagai bunga yang bermekaran


Reff:
Oh Pulau Marampit
Betapa aku cinta kau
Tak akan pernah berpaling
Slamanya slalu dihati
Meski badai datang
Walau bumi terbelah
Aku tetap darahmu
Atas nama Indonesia


KKN PPM UGM SLU-02
Pulau Marampit, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Indonesia.
Juni-Agustus, 2016
Lagu ini diciptakan dengan rasa cinta kasih pengabdian yang tulus untuk Indonesia.
Wahyulin Aprilia - Armel Montoh (Pemuda Pulau Marampit)