Jumat, 09 Desember 2016


MELAWAN RASA TAKUT DI MENTORING PERTAMA

Dalam teknik pembelajaran agama islam terdapat istilah mentoring atau pembinaan kepada adik tingkat, dan terkait siapa akan bertemu siapa itu sudah menjadi tanggungjawab pengurus harian. Suatu hari saya di WA oleh teman satu jurusan yang kebetulan menjadi pengurusnya, dia meminta saya untuk menjadi salah satu mentor yang akan memegang beberapa adik binaan,  saya memang tidak asing dengan kegiatan ini karena sudah mengikuti prosesnya selama kurang lebih 3 tahun. Saya sempat ragu untuk mengiyakan pada awalnya karena saya sadar bahwa menjadi seorang mentor bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Berdasarkan pengalaman pribadi saya pernah 3kali ganti mentor dan bagi saya mereka adalah sosok yang sangat inspiratif dalam bidang agama khususnya, saya tidak merasa demikian.

Ketakutan mulai timbul tatkala nama-nama adik binaan sudah saya pegang dan saatnya menghubungi mereka satu persatu. “Aku belum seperti mba-mba mentorku yang baik perangainya dan memang bisa menjadi contoh, apa lebih baik aku mundur saja” begitu pemikiran yang sempat singgah beberapa hari. Kekhawatiran ini akhirnya saya diskusikan dengan mentor saya di Asrama, dengan gaya bicaranya yang tegas dan lugas dia meyakinkan saya untuk memulai langkah ini dengan mantap. Kata-katanya memang benar-benar mampu menyulap pikiran, selesai dari balutan nasihat yang dia lontarkan, semangat ini terbakar dan rasanya ingin segera bertemu dengan adik-adik. Saya menghubungi satu persatu dengan bahasa yang sangat santun. Namun ternyata hanya satu orang yang ada waktu luang sesuai hari yang disepakati. Dan pada sela-sela komunikasi kami lewat medsos, dia melontarkan sebuah pertanyaan yang saya belum bisa menjawabnya saat itu padahal pertanyaannya sederhana. Saya sedih dengan ilmu yang masih sangat kurang ini, namun saya berjanji padanya untuk menjawab di kesempatan yang lain.

Hari yang ditunggu tiba, si adik sudah menyepakati untuk bertemu di salah satu warung makan khas ‘ngapak’ di Yogyakarta. Meskipun masih dengan keraguan, tetapi akhirnya saya memberanikan diri melangkahkan kaki memulai mentoring pertama. Si adik yang belum tau tempatnya meminta untuk dijemput di fakultas. Saya berpikir dia memang sendirian, ternyata dia mengajak temannya, saya sedikit lega. Tak lama setelah bertemu untuk pertama kali, kami segera bergegas menuju tempat makan.

Aneh, tidak seperti biasanya saya merasa sangat canggung berbincang dengan adik kelas. Timbul keraguan dalam diri, dan timbul pertanyaan ‘apa yang harus saya sampaikan nanti?’. Ternyata begini rasanya menjadi mentor untuk pertama kali, mungkin dulu juga mba-mba mentor mengalami masa ini. Namun beruntung, adik binaan saya ternyata bukan orang yang pendiam, dia mencairkan suasana seolah-olah kami sudah saling kenal sejak lama, dia menceritakan peristiwa hari ini yang katanya membosankan. Di sela-sela cerita yang disampaiakan dengan antusias dia melontarkan pertanyaan kepada saya, tiba-tiba jantung menjadi dag dig dug tak terkendali, saya khawatir dia akan menanyakan hal-hal yang seperti yang pernah dia tanyakan beberapa hari yang lalu, soalnya tidak susah, namun jawabannya sangat sensitive dan saya tidak memiliki keberanian lebih untuk langsung menjawabnya. Saya memperhatikan mimik bicaranya dengan seksama, dan ternyata dugaan saya melenceng, dia menanyakan banyak hal tentang tips manajemen waktu dan menjadi mahasiswa berprestasi, sesaat saya menghela napas karena merasa terselamatkan. Pada akhirnya dengan santai saya ceritakan beberapa pengalaman yang pernah saya alami selama kuliah sembari menyisipkan beberapa lelucon yang akhirnya membuat kami semua tertawa. Seketika itu rasa takut saya perlahan  pudar dan hilang. Saya semakin yakin untuk terus membina mereka, karena berbagi hal-hal kecil dengan imbalan terima kasih atau bahkan tanpa imbalan ternyata sangat menyenangkan.

Sekarang saya tau, rasa takut itu bisa muncul kapanpun, bahkan dari kejadian-kejadian kecil yang menurut kebanyakan orang biasa saja. Rasa takut hanya bisa dihilangkan dengan cara melawan dan menghadapinya dengan gagah. Namun yang lebih tepat adalah menghadapinya dengan persiapan yang matang seperti halnya materi-materi yang seharusnya saya pelajari dengan sungguh-sungguh terlebih dulu.

1 komentar:

  1. Semangatt Ulin :)
    Setelah berat 'memulai', soal selanjutnya adalah tentang keistiqomahan (yang bahkan Rasulullah SAW pun menilai istiqomah merupakan tugas berat), but every questions will have the answer, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
    Long life learning
    Proud of you

    BalasHapus